Kata Walhi Sumbar Soal Tragedi Longsor Tambang Emas Ilegal di Sungai Abu
- Padang Viva / Andri Mardiansyah
Padang – Tragedi longsor di kawasan tambang emas Nagari Sungai Abu, Kecamatan Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok, menambah catatan kelam aktivitas tambang emas ilegal di Sumatera Barat.
Kamis sore 26 September 2024, gerakan tanah alias longsor terjadi. Sebanyak 25 penambang emas ilegal di kawasan itu menjadi korban. Pemuktahiran data terakhir, 12 dilaporkan meninggal dunia, 12 penambang selamat dan satu korban lagi hingga kini masih dalam proses evakuasi.
Kepala Departemen Advokasi Lingkungan Hidup Walhi Sumbar, Tommy Adam menyebut bahwa kejadian ini, bukan bencana alam biasa, sudah menjadi bencana ekologis.
Bencana yang terjadi kali ini kata Tommy, merupakan akibat akumulasi krisis ekologis karena ketidakadilan dan abainya pemerintah dalam tatakelola sumber daya alam. Sehingga, mengakibatkan masyarakat kecil dan lingkungan selalu menjadi korban.
Selain itu, menurut Tommy kejadian ini merupakan fakta bahwa, pemerintah daerah (Provinsi -Kabupaten) gagal dalam membangun ekosistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan bagi masyarakat. Akibatnya, masyarakat harus mempertaruhkan nyawa dan mengorbankan lingkungannya, untuk menghidupi keluarga.
"Kejadian ini fakta, penegak hukum gagal mengatasi akar kejahatan tambang illegal di Sumatera Barat, Khususnya di Kecamatan Hiliran Gumanti Kabupaten Solok,"kata Tommy Adam dikutip dari keterangan resminya, Minggu 29 September 2024.
Tommy menjelaskan, persoalan tambang illegal di Nagari Sungai Abu, bahkan telah dilaporkan oleh masyarakat sejak tahun 2015 ke Polda Sumatera Barat. Namun, aktifitas tambang illegal yang mengunakan alat berat terus terjadi di daerah ini.
Untuk itu kata Tommy Adam, semua pihak harus berhenti menyalahkan masyarakat kecil dan menggunakan kemiskinnan dan kesulitan ekonomi mereka sebagai alasan dilematis dalam menyikapi kongkalingkong dibalik masifnya aktifitas tambang illegal di berbagai kabupaten di Sumatera Barat, termasuk di Kecamatan Hiliran Gumanti.
"Pemerintah dan penegak hukum harus bernyali dan berani mengungkap ke publik tentang siapa pelaku utama dan penikmat untung besar dari siklus bisnis tambang illegal. Mereka adalah orang-orang yang paling bertanggung jawan atas korban jiwa dan rusaknya lingkungan hidup,"tegas Tommy Adam.
Walhi Sumbar kata Tommy, juga mempertanyakan siapa pemilik dan nama dibalik bisnis alat berat dan pasokan BBM ke tambang illegal tersebut, siapa pemain bisnis keamanan (beking) yang menerima aliran dana, sebagai alasan keamanan dan, siapa pula yang mendanai dan menampung hasil-hasil tambang illegal tersebut.
"Siapapun mereka, harus bertanggung jawab. Bahkan, sekalipun jika mereka ada didalam dan disekitar kantor-kantor penegak hukum, kantor-kantor legislatif atau kantor-kantor eksekutif,"ujar Tommy Adam.
Tommy Adam menilai, sangat tidak adil jika kemudian keuntungan paling besar dari siklus tambang illegal ini hanya di nikmati segelintir elit, yang bahkan mereka tidak menyentuh lumpur tambang sekalipun. Ketika terjadi bencana, masyarakat kecil yang menerima dampak paling besar.
Lalu, juga perlu diingat PETI tidak hanya melanggar hukum Negara (UU Minerba), tetapi juga bertentangan dengan hukum islam. PETI merupakan sumber ekonomi yang haram. Pembiaran aktivitas PETI, sama saja dengan membiarkan ummat dalam ekonomi haram. Lihat fatwa MUI No 22 tahun 2011.
Soal ini kata Tommy, pemerintah daerah Provinsi Sumatera dan Pemerintah Kabupaten adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas upaya membangun ekonomi yang berkeadilan, aman dan berkelanjutan bagi masyarakat.
"Agar kedepan, tidak ada lagi kita mendengar, masyarakat kecil, pahlawan keluarga menjadi korban, akibat terpaksa mencari nafkah dengan mata pencarian illegal, serta mempertaruhkan nyawa dan lingkungannya, karena sulitnya ekonomi dan menyempitnya ruang,"tutup Tommy Adam.