Mengenal Apa Itu Kawin Bajapuik dan Uang Hilang
Padang – Publik terutama di media sosial beberapa hari terakhir, dihebohkan dengan kematian Shintia Indah Permatasari (25 tahun) yang ditemukan tewas dengan kondisi leher terlilit mukena di salah satu kamar penginapan syariah di kota Padang pada Senin pekan lalu. Banyak yang mengaitkan aksi bunuh diri Shintia dipicu uang jemputan senilai Rp500 juta.
Lalu, apa yang dimaksud dengan uang jemputan?, Rahmat Putra Syahyu Razak, dalam tesis berjudul Pelaksanaan Kawin bajapuik dan Uang Hilang di Kabupaten Padang Pariaman menjelaskan bahwa, dalam adat Minangkabau perkawinan bersifat eksogami, artinya perkawinan harus keluar suku.
Pada sistem perkawinan eksogami ini, tidak dibolehkan orang yang sesuku saling kawin-mengawini meskipun mereka sudah berkembang menjadi ratusan orang, karena masyarakat Minangkabau yang sesuku dianggap badunsanak atau bersaudara.
Berpedoman kepada falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah maka seharusnya ketentuan adat haruslah sesuai dengan ketentuan syarak atau agama. Ini sejalan dengan teori hukum yang dikemukakan oleh Hazairin yakni teori Receptio A Contrario bahwa hukum adat bisa berlaku bagi orang Islam apabila hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan hukumIslam.
Berkaitan dengan perkawinan adat, khususnya daerah Sumatera Barat tepatnya Padang Pariaman merupakan salah satu kota yang tidak luput dari pengaruh Islam yang kuat di Indonesia.
Pada daerah ini nilai-nilai Islam berkolaborasi dengan hukum adat setempat, kuatnya hukum adat menjadikan masyarakat Sumatera Barat khususnya Padang Pariaman sangat memegang teguh tradisi-tradisi dan hukum adat yang ada.
Berbicara mengenai perkawinan di daerah Padang Pariaman, terdapat keunikan pada sistem perkawinan pada daerah ini, salah satunya Perkawinan adat “bajapuik” dan “uang hilang” yakni terdapat pada daerah yang termasuk dalam wilayah adat pariaman. Biasanya didalam suatu prosesi perkawinan, pihak pria yang melakukan lamaran kepada keluarga pihak wanita, tetapi dalam sistem adat perkawinan Pariaman malah sebaliknya.
Pada prosesi perkawinan adat di Padang Pariaman proses lamaran dilakukan oleh pihak keluarga wanita, pihak keluarga laki laki hanya menunggu ke datangan pihak keluarga perempuan. Prosesi inilah yang terjadi pada perkawinan adat bajapuik di Kabupaten Padang Pariaman yang mana “Bajapuik” artinya “menjemput”.
Pada prinsipnya kawin bajapuik itu berlaku untuk seluruh adat Minangkabau, artinya seluruh penganten laki-laki haruslah dijemput secara adat. Dijemput secara adat artinya dijemput dengan ”siriah jo carano” yaitu tanda kebesaran dan penghargaan pihak wanita kepada pihak penganten laiki-laki.
Berbeda dengan daerah Padang Pariaman, istilah itu berkembang menjadi uang jemputan dan uang hilang. Uang jemputan ialah sejumlah uang, emas, atau benda yang bernilai yang dibayarkan pihak perempuan kepada pihak laki- laki sebelum akad nikah dilangsungkan. Bersarnya atau jenisnya tergantung kepada persetujuan kedua belah pihak.
Uang jemputan merupakan nilai tertentu yang akan dikembalikan kemudian kepada keluarga pengantin wanita setelah dilakukan acara pernikahan. Pihak pengantin pria akan mengembalikan dalam bentuk pemberian berupa emas yang nilainya setara dengan nilai yang diberikan.
Biasanya pemberian ini dilakukan oleh keluarga pengantin pria (marapulai) ketika pengantin wanita (anak daro) berkunjung atau batandang ka pihak pengantin wanita rumah mintuo (rumah mertua). Bahkan pemberian itu melebihi nilai yang diterima oleh pihak marapulai sebelumnya karena ini menyangkut gengsi keluarga marapulai itu sendiri.
Terjadi perubahan-perubahan sering dengan berjalannya waktu terhadap pola hidup masyarakat, dampaknya tradisi bajapuik pun mengalami perubahan. Seperti yang bisa dilihat salah satunya pada pergeseran makna eksensinya, yang pada awal mulanya banyak menonjolkan nilai-nilai dan prestise menjadi hal-hal yang bersifat ekonomis, Welhendri menyebutnya dengan sebuah “bisnis perkawinan”,dan muncul uang hilang hal ini semakin jelas dalam prakteknya dan sampai muncul yang disebut uang hilang.
Jadi pelaksanaan perkawinan bajapuik diawali oleh kesepakatan kedua orang tua sebagai keluarga inti kemudian baru dimusyawarahkan oleh niniak mamak kedua belah pihak sebagai kato putuih managokan. Akibat hukumnya apabila tidak dilaksanakan kesepakatan yang telah dibuat oleh niniak mamak, maka pihak yang melanggar akan malipek tando.
Lalu, kendala uang jemputan apabila dilakukan secara murni tidaklah terlalu bermasalah, karena nilai uang jemputan akan kembali lagi kepada pihak pengantin wanita, sehingga berapapun besarnya uang jemputan akan dapat dilaksanakan oleh pihak wanita. Hal ini sesuai dengan pepatah adat “indak ado kayu, janjang dikapiang”
Berbeda halnya dengan uang hilang sudah jelas akan menjadi milik pihak pengantin laki-laki dan tidak kembali kepada
pihak perempuan, karena itu semakin besar uang hilang semakin bisa menyebabkan pihak wanita tak sanggup memenuhinya, maka akibatnya perkawinan bisa dibatalkan. Solusinya agar perkawinan dapat dilaksanakan, mestinya uang hilang jangan terlalu besar dan terlalu tinggi.