Menyigi Simbolisasi Trauma dalam Gerak dan Sunyi Jejak Tak Terlihat
- Muhammad Aziz
Bayangkan seorang penari di awal pertunjukan, terbungkus kain hitam pekat seperti malam yang tak berujung. Kain itu tak sekadar properti, ia adalah metafora. Belenggu yang menekan, membatasi, tetapi juga diam-diam mengundang keberanian untuk melawan.
Gerakan sang penari, yang seperti ingin melepaskan diri dari dekapan kain tersebut, menggambarkan pergulatan batin yang tak pernah selesai. Setiap tarikan, setiap dorongan tubuh yang tersembunyi di balik kain, seolah berkata “Lepaskan aku dari bayang-bayang ini.”
Namun, ketika sorotan lampu bergeser ke sudut panggung, muncul sosok lain. Disebut dengan penari kedua. Dia membawa kesinambungan narasi, meski tak sepenuhnya tajam.
Ada repetisi di sana, gerakan yang seolah mengulang tanpa menyentuh dinamika baru. Padahal, trauma adalah perjalanan penuh liku, naik turun seperti gelombang yang liar.
Keempat penari perempuan ini, masing-masing membawa tenaga yang nyata dalam tubuh mereka. Gerakan yang memancarkan ketegangan dan kekuatan menjadi nyawa dari tema besar ini.
Meski demikian, harmoni yang diharapkan dalam gerak rampak, tak selalu hadir. Ketidakkonsistenan terlihat jelas saat mereka membentuk pola lantai segi empat, sebuah formasi yang semestinya memancarkan keteraturan tetapi justru kehilangan kekuatannya karena kurangnya keseragaman.