Hantu Itu Bernama Hidrometeorologi Basah

Dampak Banjir Bandang Di Jorong Galapung, Minggu 24 November 2019
Sumber :
  • Padang Viva/Andri Mardiansyah

Padang – "Longsor menimbun sawah hingga tak dapat digarap lagi. Air sungai yang dulu jernih dan langsung bisa kami minum, kini bercampur pasir. Bencana alam betul-betul merusak," kata Rano, mengenang petaka tanah longsor dan banjir bandang yang memporak-porandakan lahan pertanian tempat tinggalnya empat tahun silam.

Alat Berat Siap Tempur, Jalan di Bomas dan Koto Baru Sudah Bisa Dilalui

Rano merupakan warga Maua Hilia, Jorong Kayu Pasak Timur, Nagari Salareh Aia, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Tahun 2018 lalu, kampungnya diterjang tanah longsor disertai banjir. Tak sedikit sawah masyarakat tertimbun hingga tak bisa dimanfaatkan lagi. Rano saja sampai menelan kerugian hingga Rp 20 juta.

Bukan alam yang tak bersahabat. Hal itu tergambar dari cerita panjang Rano tentang aksi pembalakan liar di wilayahnya yang masif terjadi. Kayu-kayu di hutan lindung dibabati tangan-tangan tak bertanggung jawab. Sungguh miris kata Rano. Mereka tertawa berkipas duit. Berbanding terbalik, orang-orang kampung menghitung duka dan saban waktu dihantui bencana.

Jalur Sialing Putus Akibat Dihantam Banjir Bandang

"Bencana datang, satwa dilindungi terganggu. Salah satu pemicu banjir dan tanah longsor ini adalah pembalakan liar,"sebutnya lantang.

Kawasan Maua Hilia yang dulunya subur dan luas, kini mulai berkurang kata Rano. Bahkan, ada kampung yang terkikis air sungai. Ulah pembalakan liar di pinggir sungai, kampung Pili namanya. Ada pula rumah warga yang hampir terban lantaran tanahnya terkikis aliran sungai.

Empat Arahan Tegas BNPB Percepat Distribusi Bantuan Korban Banjir dan Longsor Sulawesi Selatan

Rano sendiri juga memiliki kebun di sekitar kawasan yang berbatas dengan hutan lindung. Kebun berisi pinang dan durian itu juga sempat rusak karena dampak penambangan kayu. Aktivitas pembalakan liar di hutan memang sudah lama terjadi, namun efeknya masih dirasakan masyarakat sekitar hingga hari ini.

"Kampung itu di sempadan (hutan lindung). Kebun rusak akibat kayu-kayu yang tumbang. Saya sudah berladang sejak 2009 di tanah mertua," katanya.

Dia mengaku juga sering menyaksikan penebangan liar. Suara mesin pemotong kayu riuh terdengar di dalam rimba. Kondisi itu disaksikan Rano di kawasan hutan Pasaman Timur yang berbatas dengan Kabupaten Agam.

"Kalau yang menebang hutan masyarakat setempat, itu masih ditoleransi. Ini tidak. Kayunya dibawa keluar dan dijual," katanya.

 

Rano, Warga Maua Hilia

Photo :
  • Padang Viva/Andri Mardiansyah

 

Ketika alam murka, isi bumi diacak-acak hingga tak lagi teratur. Air Batang Lanja di kawasan Kecamatan Palembayan, misalnya. Dulu, air sungai tersebut bisa dikonsumsi langsung oleh siapa saja yang kehausan di tengah rimba dan tidak perlu dimasak. Kini, airnya masih terlihat jernih namun harus disaring dulu sebelum diminum. Semua gara-gara longsor dan banjir tahun 2018 silam. 

"Airnya kini bercampur pasir," ujarnya.

Penebangan hutan tidak hanya memicu bencana alam. Binatang-binatang buas pun keluar sarang karena habitatnya terusik dijamah tangan manusia. Apalagi, pembalakan liar itu terjadi di kawasan hutan Cagar Alam Maninjau, Kabupaten Agam. Areal hutan itu jelas zona atau habitat inti dari beberapa jenis tumbuhan dan satwa liar dilindungi.

Tak sedikit laporan Harimau Sumatera mengamuk memangsa ternak masyarakat di Kabupaten Agam, termasuk milik Rano. Empat ekor sapinya diserang satwa dilindungi itu. Dia harus menelan ludah ikhlas karena tidak ada bantuan apapun dari pemerintah atas musibah 'alam' yang ditanggungnya. Hanya peringatan hati-hati yang diperolehnya dari pemerintah daerah.

"Dua ekor sapi saya mati dan dua ekor selamat. Itu kerugian nyata bagi saya," katanya.

Ragam peristiwa dan bencana yang dialaminya, membuat Rano terpanggil untuk terlibat menjaga alam. Menurutnya, merawat alam adalah cara terbaik menolak bala dari alam itu sendiri. Atas dasar itu pula, Rano bergabung menjadi salah satu anggota Tim Patroli Anak Nagari (Pagari) yang dilahirkan BKSDA Sumbar.

Bersama Pagari, Rano dan rekan-rekannya memantau aktivitas di dalam hutan kawasan tempat tinggalnya. Selama berpatroli, dia belum pernah bertemu langsung dengan pelaku pembalakan liar. 

"Tetapi, saya melihat bekas penebangan. Ada sekitar tiga titiknya dan terpisah-pisah," katanya.

Pengalaman pahit pun membawa Rano menjadi anggota Pagari. Sawahnya hilang dan sapi matinya. Semua bencana itu terjadi akibat dari ulah tangan-tangan manusia yang tak bertanggung jawab. Hutan krisis kayu-kayu besar yang menjadi penyangga air. Ketika hujan deras, pemukiman warga terancam dan habitat hewan buas terusik.

"Ketika alam dijaga dengan baik, maka ia akan bersahabat dengan kita. Hewan buas keluar dari rimba karena habitatnya terganggu. Begitu juga bencana banjir, tanah longsor. Semoga Pagari dan semua pihak terkait bisa bersama-sama menjaga hutan," harapnya.

Rano, Warga Maua Hilia

Photo :
  • Padang Viva

Rano mengaku miris melihat kondisi hutan di sekitar tempat tinggalnya. Dulu, BKSDA Sumbar pernah membantu sebanyak 500 batang bibit pohon. Bantuan tersebut dibagikannya kepada masyarakat. Satu orang mendapat jatah menanam 5 batang bibit di lereng bukit. Kekinian, tamanan tersebut sudah berkembang setinggi tegak orang dewasa.

Begitu juga cerita Sutan Mangkuto, korban gempa 2009 yang tinggal di rumah bantuan pemerintah sejak tahun 2016 lalu di daerah Kabupaten Agam. Sebelum gempa, ia juga ya kerap menjadi korban tanah longsor di Maninjau. Menurutnya, bencana longsor berulang di Jorong Pandan, Belapung, Penanggai dan Nagari Tajung Sani di Kecamatan Tanjung Raya, juga akibat dari penebangan liar.

Sutan Mangkuto blak-blakan menyebut bahwa pengawasan pemerintah tidak ketat. Buktinya, masih ada orang-orang tak bertanggung jawab menebang kayu sampai hari ini di kawasan hutan lindung. Dulu, Kapolda Sumbar keliling Danau Maninjau hingga mendengar suara mesin potong kayu. Lalu, diperintahkannya para kapolsek untuk menertibkan para pelaku penjarah kayu tersebut.

"Sekarang masif lagi, tiap hari terdengar bunyi mesin potong kayu. Hasilnya dijual ke tukang perabot dan sebagainya," katanya.

Tak hanya di kawasan Kabupaten Agam, kata Sutan, di perbatasan Padang Pariaman dengan Agam, juga kerap terdengar suara mesin potong kayu. Menurutnya, jika betul-betul ingin merawat alam, pemerintah dan penegak hukum harus betul-betul serius menertibkan pelaku illegal loging tersebut. Sebab, muara dari petaka jarahan itu berimbas kepada nasib masyarakat di sekitar kawasan hutan.

Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Agam mencatat, dalam rentang waktu 2015 hingga 2021, terjadi sebanyak 1.225 bencana alam di 16 Kecamatan. Rinciannya, tanah longsor 380 kasus, banjir 104, banjir bandang 26, Kebakaran lahan hutan 24, abrasi pantai 4, angin kencang 571, angin puting beliung 38 dan bencana lain sebanyak 78 kasus. Sedangkan data 2022, peristiwa gerakan tanah masih mendominasi dengan total 19 kasus dan banjir 7 kasus. 

Dampak Banjir Bandang Di Jorong Galapung, Minggu 24 November 2019

Photo :
  • Padang Viva/Andri Mardiansyah

Pemetaan Lokasi Rawan Kebencanaan Sudah Dilakukan

Sekretaris BPBD Agam, Olka Wendri mengatakan pihaknya telah melakukan pemetaan lokasi-lokasi rawan kebencanaan. Hal itu dilakukan untuk mengatasi persoalan kebencanaan, terutama longsor dan banjir. Selain itu, mitigasi bencana kepada masyarakat, baik itu dilakukan secara langsung ataupun melalui informasi-informasi yang disampaikan kepada Wali nagari juga dimasifkan.

“Di Kabupaten Agam, Kecamatan Tanjung Raya, lebih dominan diterjang longsor. Kalau banjir yang lebih dominan terdampak di kecamatan Tanjung Mutiara dan Palembayan. Ini, tempat-tempat yang di perkirakan yang terdampak daripada longsor dan banjir. Anggota sudah siap termasuk juga dengan peralatannya penunjang. Jadi, jika terjadi longsor dan banjir kita siap bergerak sesuai dengan standar operasional prosedur yang ada,” kata Olka Wendri.

Terkait dengan mitigasi, menurut Olka Wendri yang sudah dilakukan pihaknya antara lain, memberikan informasi kepada masyarakat tentang potensi ancaman dan dampak dari bencana longsor. Salah satunya, dengan terus mengedukasi untuk tidak melakukan aktifitas penebangan pohon pada tempat-tempat tertentu serta untuk terus menjaga saluran air agar tidak tersumbat.

Sedangkan untuk upaya penghijauan kembali dengan melakukan penanaman bibit pohon pada area hutan yang ditebang sebagai bentuk mencegah terjadinya longsor dan banjir Olka Wendri mengakui hingga kini upaya itu belum terlaksana. 

“Kalau BPBD, belum melaksanakan penanaman. Cuma mengimbau sudah. Tapi artinya, secara implisit kita memang melarang masyarakat agar menebang pohon kayu. Menebang kayu dengan skala yang besar, mengakibatkan terjadinya longsor,” ujarnya.

Pengungkapan Kasus Ilegal Loging Di CA Maninjau

Photo :
  • BKSDA Resor Maninjau

Isu Pembalakan Liar Bukan Cerita Pepesan Kosong

Isu pembalakan liar di tengah hutan lindung Kabupaten Agam, bukan sekadar cerita pepesan kosong. Saat melakukan monitoring, Yayasan Sintas Indonesia menemukan sejumlah titik illegal logging tersebar di tengah rimba Cagar Alam Maninjau.

Menurut Koordinator Yayasan Sintas Indonesia Sumatra Barat, Tengku Lidra, sedikitnya ada enam titik illegal logging yang pernah ia temukan. Meski menemukan tunggul kayu tebangan hingga bekas arit, pihaknya belum merinci berapa luas yang telah dibabat. Sebab, kawasan tersebut merupakan peninggalan jalur lama.

"Ibaratnya hutan sekunder tua. Kami temukan juga bekas lubang atau parit masyarakat untuk berlindung dari penjajah dulu. Berarti, itu memang (jalur) lintasan masyarakat juga dulu," katanya.

Pengalaman Tengku Lidra mensurvei kawasan hutan itu, dia menemukan bagian puncak seperti hutan primer dan vegetasi hutan pegunungan. Di lokasi itu, sudah pohon yang kayu yang keras. Lantas, rumput-rumputnya tipe-tipe pegunungan. Sedangkan di bagian bawahnya kebanyakan hutan sekunder lantaran sudah dijamah tangan manusia, seperti adanya jalur logging.

Rafflesia Tuan Mudae Di Cagar Alam Maninjau

Photo :
  • padang Viva/Andri Mardiansyah

Meski menemukan jalur logging, Tengku Lidra menampik jika keanekaragaman hayati atau biodiversity di kawasan hutan tersebut telah terganggu hingga menyebabkan banjir dan longsor. Dia berdalih baru melihat hutan di dalam secara langsung, namun belum memastikan kondisi atau efek keluarnya. 

"Belum. Kalau ekologi, kan itu sudah pasti memicu apa yang memicu perubahan iklim," tuturnya.

Menurut Tengku Lidra, pembalakan liar muaranya pasti memicu longsor dan banjir bandang. Salah satunya pernah terjadi di Batu Kambing dan kini aktivitas penebangan liar di daerah tersebut sudah menghilang.

"Di sana, punya kekayaan biodiversity. Pernah banjir, tapi sepertinya bukan karena illegal logging," katanya.

Harimau Sumatra

Photo :
  • Padang Viva/Andri Mardiansyah

Cagar Alam Maninjau sendiri terdapat di dua kabupaten; Agam dan Padang Pariaman. Kawasan yang luasnya mencapai 21 ribu hektare itu berada di 11 kecamatan dengan 34 nagari.

Cagar alam ini diamanahkan untuk menjadi kawasan perlindungan habitat; tumbuhan dan satwa. Kemudian, danau Maninjau adalah danau vulkanik yang diharapkan juga menjadi selimut tebing-tebing yang membentuk danau tersebut. 

Sejumlah keanekaragaman hayati hidup di Cagar Alam Maninjau. Ada raflesia tuan mudae, raflesia arnoldi dan beberapa jenis pohon-pohon indukan seperti beringin, meranti dan medang-medang.

Satwa liar dilindungi juga hidup di sana. Mulai dari Harimau Sumatera, Beruang, Rusa, Kijang hingga Macan Dahan. Semuanya adalah ekosistem yang saling bergantung yang jika salah satunya rusak, maka akan mengganggu kondisi yang lainnya.

Banyak yang mengancam kawasan konservasi Cagar Alam Maninjau. Mulai dari kebutuhan pengembangan pembangunan, pertambahan jumlah penduduk hingga pembalakan liar. "Tapi dalam beberapa tahun terakhir, terjadi penurunan pembalakan liar. Semoga illegal logging betul-betul hilang dari kawasan konservasi," harapnya.

Penebangan Liar Di Cagar ALam Maninjau

Photo :
  • BKSDA Resor Maninjau

Regulasi Penertiban Pembalakan Liar Sudah Jelas

Sementara itu, Wakil Bupati Agam, Irwan Fikri mengatakan, regulasi untuk penertiban pembalakan liar di hutan lindung sudah jelas secara nasional. Aturan dan ancamannya ada di dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Polisi kehutanan (Polhut) dan Polri bisa bergerak untuk menangani pelanggaran yang diancam pidana itu.

Dalam penertiban pembalakan liar, pemerintah daerah (Pemda) sifatnya sebetulnya mendukung karena aturan hukumnya sudah jelas. Menurut Irwan, Pemkab bisa mendorong masyarakat untuk menghentikan pembalakan liar dengan cara memfasilitasi ekonomi.

Dicarikan jalan keluar agar mereka yang menggantungkan hidup dari hasil pembalakan kayu hingga berburu satwa dilindungi di hutan lindung itu, bisa hidup tanpa harus merusak alam lagi.

"Selain itu tentu kami masifkan sosialisasi hingga ke tingkat nagari. Tokoh-tokoh masyarakat juga diseru. Himbauan itu lebih kepada penyadaran bahwa ketika hutan dibabat, muara bencananya nanti tetap kembali kita. Terutama masyarakat yang tinggal dekat dengan hutan," katanya.

Irwan mengatakan, sebagian besar warga Kabupaten Agam hidup di lereng-lereng perbukitan dan pegunungan yang juga dialiri sungai-sungai. Ketika hutan dijarah, rusak hingga berlarut-larut, tentu risikonya nanti akan semakin mengkhawatirkan.

 

Temuan Kasus Ilegal Logging Di CA Maninjau

Photo :
  • BKSDA Resor Maninjau

 

"Saya menganggap hutan di Agam tidak sehat dan kondisi itu pasti mengancam mereka langsung. Potensi longsor dan banjir bandang sudah sering terjadi," ujarnya.

Sejumlah titik di Kabupaten Agam, dilabeli zona merah untuk potensi longsor. Untuk memastikan kehidupan masyarakat tetap berlanjut, pemerintah merelokasi warga di sekitar lokasi bencana. Misalnya ketika Nagari Tanjung Sani diguncang gempa, warganya direlokasi ke Dama Gadang. Di sana, disediakan pemukiman sebagai wujud fasilitasi untuk korban bencana.

"Jauh lebih penting itu adalah, memperbaiki kualitas zona merah dan kritis yang mana pohon-pohon penyangganya tidak ada, sering ditebang. Itu kita kembali hijaukan," tegas Irwan.

Selain memicu bencana alam kata Irwan Fikri, pembalakan liar juga mengganggu habibat binatang buas. Tak heran jika Beruang hingga Harimau Sumatera kerap ditemukan di kawasan dekat pemukiman warga Kabupaten Agam. 

"Pesannya sederhana. Jangan diperkecil lagi lahan hewan-hewan itu. Mereka butuh ruang untuk hidup bebas sendiri. Kalau areanya kita renggut, otomatis akan semakin mengancam perkampungan berpenduduk," katanya.

Temuan Kasus Ilegal Logging Di CA Maninjau

Photo :
  • BKSDA Resor Maninjau

Irwan tak menampik perkembangan penduduk membuat upaya memperbesar area hewan-hewan buas sulit dan bahkan mustahil dilakukan. Namun, mempertahankan kawasan alam yang baik untuk satwa tersebut masih bisa dilakukan. Misalnya, tidak lagi memakai sekitaran hutan lindung untuk pembukaan jalan-jalan baru.

"Jangan bayangkan ketika buka jalan 6 meter yang terdampak hanya sepanjang itu. Ada sekian lagi kilometer habibat yang terdampak kalau hutannya sudah dijadikan jalan umum. Saya sangat tidak sepakat ketika ada Cagar Alam di Agam yang dipakai lagi untuk pembukaan jalan," tegasnya.

Wakil Bupati Agam ini pun berjanji akan menjadi orang pertama yang akan menentang ketika adanya kebijakan membangun jalan-jalan baru di kawasan hutan lindung. Diakuinya, kini masih ada sejumlah perkampungan warga masuk ke kawasan hutan lindung. 

Namun hal itu terjadi sudah berabad lamanya. Saat ini, pihaknya sedang berjuang mengeluarkan pemukiman tersebut dari area hutan lindung. Di sisi lain, kolaborasi pemerintah daerah, provinsi hingga pusat dalam menangani bencana alam cukup baik. Sebab, antar jenjang sudah satu pintu dengan BPBP langsung ke BNPB. 

"Untuk kebencanaan Indonesia, sektor penanganan sudah rapi, tidak seperti dulu lagi," sambung Irwan.

Kapolres Agam, AKBP Ferry Ferdian pun turut berkomitmen untuk menekan aksi pembalakan liar di daerah yang dipimpinnya meski hingga kini belum tampak keras. Baru sebatas ditandai dengan bekerjasama dengan BKSDA Sumbar dan Dinas Kehutanan Sumbar. Pihaknya akan meminta jajarannya di nagari-nagari untuk memasifkan edukasi kepada masyarakat yang di daerahnya terjadi aksi pembalakan liar.

"Kami mengedepankan peran Bhabinkamtibmas untuk memberikan informasi dan dampak pembalakan liar kepada masyarakat. Kami juga akan lakukan penegakan hukum bersama dengan pihak BKSDA dan kehutanan," kata ferry.

Menurut AKBP Ferry Ferdian, pihaknya mesti berkoordinasi dengan BKSDA dan Dinas Kehutanan Sumbar. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kawasan hutan dan jenis-jesinya, apakah hutan lindung, hutan produksi dan sebagainya. 

"Yang tahu kawasan hutan tentu mereka (BKSDA dan Dinas Kehutanan), termasuk unsur-unsur pembalakan liar itu," ujarnya.

Jembatan Di Maua Hilia Yang Rusak Diterjang Debit Air Tinggi

Photo :
  • Padang Viva

Bukan Takdir Tuhan

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang memandang bencana demi bencana alam yang terjadi di Kabupaten Agam, umumnya di Sumbar, bukanlah karena takdir Tuhan. Semua terjadi akibat ulah tangan-tangan manusia itu sendiri. Mereka merusak dan melakukan kejahatan terhadap alam.

Orang-orang tak bertanggung jawab itu mengeploitasi alam dengan cara berlebihan. Mengambil isi alam sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan melakukan perbaikan, seperti penghijauan. "Terlalu banyak penebangan liar. Penyeragaman tanaman skala besar. Misalnya sawit dan sebagainya," kata Direktur LBH Padang, Indira Suryani.

Selain pembalakan liar, kata Indira, masifnya pertumbuhan tambang juga sangat mengancam alam. Lebih-lebih pemanfaatan panas bumi yang dilakukan dengan berbagai metode pengeboran. Membongkar-bongkar topografi alam dan teritorialnya. Muara dari pemanfaatan alam berlebihan itu akan memicu banjir dan longsor.

"Bencana ini berdampak terhadap pemenuhan hak masyarakat itu sendiri," katanya.

Dalam kasus illegal logging, yang paling terdampak adalah hak atas air. LBH Padang pernah melihat hutan TNKS yang sudah dibabat. Bahkan, proyek pembangunan irigasi pemerintah untuk petani, pun gagal total. Semua gara-gara debit airnya tak bisa dialirkan lantaran sudah terlalu kecil.

"Selain gegara pembalakan liar, juga karena sawit terlalu banyak. Debit air menurun drastis dan tidak bisa mengaliri lahan pertanian masyarakat," katanya.

Selain merenggut hak atas air, pembalakan liar juga berpotensi berdampak terhadap hak atas pangan masyarakat jika terjadinya bencana hidrometerologi. LHB Padang telah banyak menerima laporan tentang situasi ikllim yang berubah-rubah terlalu cepat dan basah. Bahkan, tanaman hortikultura petani ada yang mati total.

 

Temuan Kasus Ilegal Logging Di CA Maninjau

Photo :
  • BKSDA Resor Maninjau

 

Kondisi itu terjadi di kawasan peladangan masyarakat dekat Gunung Talang, Simpang Tanjung Nan Ampek di Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok. Tak sedikit petani yang mengeluhkan hasil pertaniannya hancur gara-gara perubahan iklim eskrem; hujan dengan intensistas tinggi.

"Cuaca buruk berimbas pada harga pangan melonjak naik. Semua terdampak dan juga memicu inflasi. Jadi dampak krisis iklim itu dirasakan level masyarakat bawah hingga pemerintah itu sendiri," bebernya.

Bukan rahasia lagi kerusakan alam di Sumbar telah memicu beragam bencana. Mulai dari banjir bandang, tanah longsor dan sebagainya. Jangan ditanya berapa banyak kerugian masyarakat yang jadi korban.

Rumah-rumah warga rusak, mata pencaharian terputus akibat lahan-lahan pertanian mereka rusak parah. Belum lagi soal kondisi sungai-sungai yang rusak akibat aktivitas pembalakan liar di Kabupaten Agam.

"Kami pernah datang ke Pagadih dan melihat langsung sumber air sungainya. Banyak sedimentasi dan tidak tampak ikan di sana. Sungai sudah terganggu dan tentu akan berdampak kepada masyarakat sekitar juga," katanya.

Dampak Banjir Bandang Di Jorong Galapung, Minggu 24 November 2019

Photo :
  • Padang Viva/Andri Mardiansyah

Sejauh ini, LBH Padang pernah melakukan pendampingan terhadap warga yang hak atas pangan dan airnya direnggut. Kasus pertama terjadi di Kota Padang. Dua kelompok tani di Kuranji mengadu kesulitan mendapatkan air dan saluran irigasi ke lahan pertaniannya tidak berair. Persoalan itu terjadi karena dua hal; diambil PDAM dan debit airnya turun drastis gara-gara pembukaan lahan yang tinggi di bagian hulu.

"Irigasinya kering. Petani tidak bisa menggarap lahannya dengan baik. Menurut saya, salah satu asasi petani itu adalah air dan lingkungan bersih. Kami surati PDAM, tapi mereka enggan menjawabnya," katanya.

Ujung dari konflik-konflik seperti ini, petani bertarung sendiri hingga mengubah komoditi tanaman. Bukan hal mudah karena perlu belajar lagi. Semula misalnya bertanam padi, kemudian beralih ke pepaya. Para petani berjuang menyelesaikan jalan hidup mereka sendiri tanpa direspon pemerintah. 

"Lapor Komnas HAM dan sebagainya. Alasan mereka karena ada illegal logging. Kalau iya, diberantas dong," tegasnya.

Kasus kedua yang ditangani LBH Padang berada di Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan. Dimana, hutan di kawasan tersebut sudah gundul. Kemudian hutan lindungnya sekitar itu telah ditanami kelapa sawit. Hal itu terjadi bukan saja karena ulah perusahaan, namun juga lantaran permainan oknum cukong-cukong yang hadir untuk merampas kekayaan kayu-kayu di hutan itu.

"Kami menyayangkan tindakan KLHK. Sudah DPO dalam kasus di Tapan ini, tapi tidak ditangkap juga. Sampai sekarang masih ada pelaku itu (illegal logging) di kampung itu. Dia masih melakukan penjualan kayu secara ilegal yang diambil dari TNKS," paparnya.

Mengerikan lagi, kata Indira, banyak orang-orang yang menjadi loading kayu hasil pembalakan liar itu mati di tengah hutan. Kecelakaan kerja hingga menghilangkan nyawa rentan terjadi dalam bisnis gelap kayu rimba itu. Sayangnya, cerita kematian tukang kayu itu menjadi hal biasa di tengah kampung tersebut.

Tukang kayu mendapat untung yang tak seberapa. Sedangkan cukong-cukongnya hidup kaya raya. Setelah hutan gundul, bencana akan tinggal untuk masyarakat sekitar. Kondisi ini yang kadang tidak disadari oleh masyarakat sekitar lokasi. Namun semuanya menjadi dilema. Mereka menjadi tukang kayu bisnis ilegal lantaran memang karena ketiadaan penghidupan.

"Kenapa jadi tukang loading kayu ilegal? Mereka jawab karena tidak ada lapangan pekerjaan. Tidak tahu mau kerja apa lagi," katanya.

Laporan kasus illegal loging di Tapan masuk ke LBH Padang sejak tahun 2017 silam. Pihaknya mengawal kasus itu dan sudah lapor kemana-mana. Mulai dari Polda Sumbar hingga ke KLHK. Terbaru, ada yang ditangkap seorang pelaku dan sayangnya sampai kini prosesnya belum juga sampai ke meja hijau.

"Di TNKS itu, mamaknya (petinggi adat) yang memfasilitasi illegal logging. Sedihnya di situ. Kok masyarakat adat sendiri yang merusak alam sendiri. Akhirnya anak, kemenakan mereka terdampak banjir. Semua gara-gara pembalakan liar," katanya.

LBH Padang juga menyorot aksi tanggap darurat yang dilakukan pemerintah pasca terjadinya bencana. Menurutnya, tanggap darurat hanya aksi sporadis. Sebab, yang dibutuhkan sesungguhnya adalah pemulihan secara menyeluruh dan lebih besar. Cara menghentikan terjadinya bencana dimulai dari menghentikan semua izin-izin eksploitasi alam.

Indira menyebut, LBH Padang sangat tidak pro kepada aktivitas pertambangan hingga perkebunan skala besar. Menurutnya, pemerintah selalu mencari pilihan yang paling sederhana dalam menyelesaikan masalah besar.

"Misalnya masalah banjir, nanti kami bikin ini, kami gali lagi gorong-gorongnya, kami perbaiki ininya, kami bikin banjir kanal satu ABCDEFGD. Masalahnya bukan di situ, bukan di banjir kanal buat infrastruktur, tapi masalahnya adalah daya dukung alam tak mampu lagi," katanya.

Semua itu terjadi karena eksploitasi alam sudah terlalu berlebihan. Lebih-lebih ketika UU Cipta Kerja hadir, kran investasi dibuka sebesar-besarnya oleh pemerintah. "Secara regulasi tidak ada dukungan untuk memproteksi alam. Selagi investasi di gadang-gadangkan, selama itulah bencana hadir terus menerus, dan pelanggaran HAM itu akan masif terjadi," katanya.

Krisis Iklim dan Kerusakan Ekologi Dalam Dimensi HAM

Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM RI Sumatera Barat, Sultanul Arifin menegaskan, isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan terutama soal hak atas lingkungan yang baik dan sehat, dijamin oleh Negara. Jaminan itu tertuang di dalam Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Menurut Sultanul, beleid tersebut mengatur kewajiban negara terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia.

Di saat yang sama pembiaran atas tak terpenuhi dan terlindunginya hak asasi masyarakat, juga dapat dikatakan pelanggaran HAM. Termasuk pembiaran terhadap isu-isu yang berkaitan dengan hak atas lingkungan yang baik dan sehat. 

"Apabila ditemukan banyak kasus perambahan liar atau ilegal logging, maka Negara harus bahkan wajib hadir disitu. Kenapa ada penebangan liar, lalu apakah kemudian ada kerusakan lingkungan, muncul persoalan air bersih, pencemaran. Maka Negara harus hadir" ujarnya

Menurutnya, lingkungan tidak bersih dan sehat akibat kerusakan maupun dampak perubahan iklim, berpengaruh langsung terhadap penghidupan yang layak bagi masyarakat. Terutama berdampak pada masyarakat sekitar.

Petugas BKSDA Resor Maninjau dan Pagari

Photo :
  • Padang Viva/Andri Mardiansyah

Melibatkan Masyarakat

Kerusakan hutan dipicu banyak faktor. Menurut Kepala BKSDA Sumbar, Ardi Andono, ada beberapa segmen klasifikasi kerusakan hutan. Paling berbahaya adalah kebakaran hutan. Sebab, dampaknya masif dan destruktif sekali. Semua lahan dan tanamannya mati.

"Kemudian pembalakan kayu. Aktivitasnya menimbulkan erosi. Lama kelamaan juga akan memicu degradasi hutan dan produksi semakin turun. Baik itu flora maupun fauna di dalamnya," ujar Ardi.

Menurut Ardi, kerusakan hutan jelas akan berdampak pada fauna di dalamnya. Sebab, hewan-hewan butuh makan dan habibat yang alami. Ketika area kehidupannya dibabat, pakan-pakannya habis dan satwa perlahan-lahan juga akan punah. Mereka berkembang biak karena rumahnya (hutan) masih terjaga; pakannya melimpah, sumber air cukup dan sebagainya.

"Kalau rusak, satwa akan berpindah ke tempat lain yang bisa mengancam kehidupannya. Mereka terbunuh oleh manusia, mati karena satwa lain karena terjebak segitiga makan. Jadi, kerusakan hutan dengan konsumsi fauna ini sangat berelasi," katanya.

Ketika habitatnya terganggu dan pakannya berkurang, konflik satwa sesama satwa hingga manusia juga tak bisa terhindarkan. Saat hutan rusak, satwa-satwa itu tentu bergeser dari satu tempat ke tempat lain yang lebih aman. Atas kondisi itu, satwa tersebut juga berpotensi mati karena kelaparan atau diburu manusia.

 

Kepala BKSDA Sumbar, Ardi Andono (tengah)

Photo :
  • Padang Viva/Andri Mardiansyah

 

 "Saat mencari habitat baru ini mereka sering bermasalah. Bertemu manusia hingga satwa lain. Akibatnya bisa fatal. Satwa itu juga berpotensi kelaparan sampai melakukan hal-hal yang tak diinginkan," katanya.

BKSDA Sumbar memiliki tugas untuk mengawasi kawasan hutan konservasi. Sudah beragam jenis penjagaan dilakukan agar hutan-hutan tidak dijarah. Mulai dari smart patrol, sosialisasi sambil pemberdayaan masyarakat. Ketika patroli rutin dilakukan, niat dan kesempatan orang-orang mengambil kekayaan hutan akan tertutup.

Tahun 2022 lalu, BKSDA Sumbar berhasil menangkap satu colt kayu di kawasan hutan Kota Padang dan pelakunya sudah menjalani persidangan. Kemudian juga menangkap 7 orang pelaku perburuan liar di daerah Kabupaten Pasaman, termasuk yang opsetan. 

Di Kota Bukittinggi, BKSDA Sumbar juga mengamankan seorang wali nagari atas kasus perambahan hutan. Kasus serupa juga ditertibkan di Kabupaten Solok dan Kabupaten Agam yang pelakunya sudah divonis.

Setidaknya, ada 12 kasus yang ditangani BKSDA Sumbar selama tahun lalu. Dari jumlah itu, 10 kasus penanganannya dibantu pihak kepolisian. Pihaknya juga mengapresiasi Polda Sumbar yang juga komit membantu penertiban pelanggaran di kawasan hutan.

"Di Sumbar ini sudah cukup tegas penegakkan hukumnya, baik menyangkut kasus flora maupun fauna-nya. Kami komit menjaga kawasan hutan. Lima batang pun mengambil, kami tangkap dan proses hukum," tegasnya.

BKSDA Sumbar juga memasifkan sosialisasi untuk daerah-daerah tertentu yang dekat dengan habitat Harimau dengan program "Nagari Ramah Harimau". Dengan mengungkapkan fakta dan data, masyarakat juga bisa ikut mengontrol dan mengamati kawasannya. Hal itu diyakini mampu menekan konflik dengan satwa liar. Dengan begitu, manusia bisa hidup berdampingan dengan satwa.

Program Nagari Ramah Harimau ternyata menarik masyarakat untuk bersinergi menjaga alam. Tahun lalu, sebanyak 45 ekor satwa dilindungi diserahkan masyarakat ke BKSDA Sumbar.

Selain warga, pihak Damkar di daerah juga membantu evakuasi binatang buas yang memasuki rumah-rumah warga. Seperti kasus kemunculan macan dahan, kucing emas, ular dan sebagainya. "Masyarakat sangat membantu kami dalam penanganan satwa," katanya.

BKSDA Sumbar memiliki wewenang untuk mengawasi 21 kawasan yang tersebar di 15 daerah di Sumbar yang luasnya mencapai 244 ribu hektare. Namun itu sifatnya wilayah. Sedangkan flora dan fauna atau satwa liar tidak memiliki batas wilayah atau transboundary. Dia bisa berada di dalam hutan atau di luar kawasan tersebut.

Selain itu, program Pagari yang dihadirkan BKSDA Sumbar juga membantu menjaga hingga mengembalikan kealamian hutan. Melakukan penghijauan dengan bantuan bibit dari KLHK. Masyarakat yang menanam bibit itu sendiri di kawasasn hutan penyangga. Targetnya ke depan adalah menghijaukan kembali kawasan hutan yang sudah terdegradasi.

Rhizanthes Lowii Tumbuh Di Cagar Alam Maninjau

Photo :
  • Padang Viva/Andri Mardiansyah

Selimut Dari Karst Danau Maninjau

Ade Putra, Kepala BKSDA Sumatra Barat, Resor Maninjau bilang jika, kawasan Cagar Alam Maninjau merupakan selimut dari tebing atau karts danau vulkanik Maninjau. Kawasan ini, diamanahkan sebagai kawasan untuk perlindungan habitat baik itu tumbuhan ataupun satwa. Cagar Alam Maninjau sendiri membentang di dua Kabupaten yakni Agam dan Padang Pariaman dengan luasan mencapai 21 ribu hektare.

Berdasarkan hasil identifikasi kata Ade, di kawasan Cagar Alam terdapat beberapa jenis flora dan fauna seperti, Rafflesia Tuan Mudae, Rafflesia Arnoldi, pohon indukan baik itu jenis beringin, meranti hingga medang. Lalu ada juga satwa beruang, rusa, kijang, macan dahan maupun satwa pemuncak yakni harimau sumatra yang semuanya itu adalah sebuah ekosistem yang saling terhubung. 

"Sebagai sebuah kawasan konservasi, tentu saja Cagar Alam Maninjau tidak terlepas dari adanya kerawanan ancaman atau gangguan yang terjadi sebagai akibat dari dampak baik itu kebutuhan pembangunan, pertambahan jumlah populasi penduduk atau akibat gejala alam itu sendiri seperti banjir dan longsor,"ujar Ade. 

Ade mengungkap, beberapa ganguan atau ancaman yang kerap terjadi di Cagar Alam Maninjau salah satunya pembalakan liar ataupun penggunaan kawasan secara tidak sah. Meski kemudian beberapa tahun terakhir terjadi penurunan.

 

Kepala Resor Maninjau, Ade Putra

Photo :
  • Padang Viva/Andri Mardiansyah

 

Aktivitas pembalakan liar di Cagar Alam Maninjau, tidak masif terjadi seperti di daerah lain baik yang di luar maupun di Sumatra Barat. Perbuatan itu dilakukan oleh individu atau kelompok kecil.

Bisa dibilang aktivitas perambahan di Cagar Aklam Maninjau masih berskala kecil. Hanya terjadi dibeberapa titik. Ini tak lain berkat upaya dan kerja keras kita menjaga kawasan Cagar Alam Maninjau agar tetap lestari. 

"Upaya yang kita lakukan untuk mencegah dan memberantas itu dengan mengaktifkan patroli perlindungan dan pengamanan hutan. Kemudian juga aktif melibatkan masyarakat disekitar kawasan hutan seperti patroli anak nagari. Lalu, kita juga gencar melakukan edukasi, sosialisasi dan penyuluhan baik secara formal maupun informal. Bahkan 2 tahun terakhir ini kita menggalakkan kegiatan peningkatan usaha ekonomi masyarakat terutama yang berdomisili atau bertempat tinggal di daerah sekitar Cagar Alam Maninjau. Begini cara kami,"kata Ade lagi. 

Terhadap upaya lainnya, penegakkan hukum contohnya, menurut Ade pihaknya bekerjasama dengan jajaran Polres Agam dan Gakkum. Sepanjang 3 tahun terakhir hanya ditemukan satu kasus. Waktu itu menebang kayu. Tersangkanya ada tiga orang dan sudah divonis di Pengadilan Negeri Lubuk Basung dan sudah menjalani masa tahanan.

"Kedepan, tentu kita akan tingkatkan upaya yang bersifat pencegahan seperti pemasangan tanda batas kawasan, rambu-rambu peringatan dan menjalin kerjasama kemitraan. Baik itu dengan masyarakat, tokoh adat ataupun kelompok masyarakat yang berada di sekitar kawasan itu sendiri. Ini lebih efektif ketimbang main tangkap,"lanjut Ade.

Rhizanthes Lowii Tumbuh Di Cagar Alam Maninjau

Photo :
  • Padang Viva/Andri Mardiansyah

Ancam Ekosistem Dan Kehidupan Manusia

Jika di kawasan konservasi itu ada aktivitas pembalakan liar yang sifatnya masif dan berskala besar kata Ade, tentunya akan merusak ekosistem dari kawasan konservasi itu sendiri. Rusaknya ekosistem, tentu saja akan berdampak besar terhadap kehidupan makhluk yang ada didalamnya baik itu flora maupun fauna. 

Kawasan itu sistem penyangga kehidupan yang mempengaruhi kehidupan manusia, tumbuhan dan satwa. Jika rusak, maka akan berdampak besar. Rusaknya sebuah ekosistem atau kawasan hutan konservasi, juga menyebabkan penipisan atau menyempitnya ruang hidup bagi satwa liar terutama satwa kunci seperti harimau sumatra dan beruang. 

Tak hanya itu saja, dengan rusaknya semua tatanan ekosistem tadi juga mengakibatkan terganggunya fungsi dari kawasan tersebut. Jika sudah demikian, tentu juga berdampak terhadap kehidupan manusia.

Akan ada bencana alam yang datang. Kekuatan Tumbuhan atau pohon yang menahan dan menyerap sumber air dan menahan tanah, akan berdampak terutama disaat curah hujan tinggi. Banjir dan longsor pun tentu akan timbul. Jika terjadi, maka kerugian materil dan korban jiwa pasti akan ada.

"Jaga hutan, jaga ekosistemnya. Jangan dirusak, jangan serakah. Ingat yang berhak hidup diatas muka bumi ini bukan hanya manusia. Juga ada makhluk lain yang punya hak yang sama. Tugas kami menjaga, melindungi dan melestarikan. Tapi kami juga butuh peran aktif dari masyarakat. Wariskan kepada anak cucu kita hutan dan segala kekayaan dengan baik. Jangan nanti malah menjadi cerita dongeng pengantar tidur nyenyak saja,"tutup Ade Putra.