Akademisi Unand Nilai Pernyataan Presiden Boleh Kampanye Bagian Dari Kerusakan Etika Politik

Feri Amsari (tengah)
Sumber :
  • FB Feri Amsari

Padang – Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkait keberpihakan dan bolehnya kepala negara berkampanye untuk pasangan calon (paslon) tertentu dalam pemilihan presiden (Pilpres) mendapat sorotan tajam.

PDI Perjuangan Sumatera Barat Menang Atas Gugatan Leo Murphy

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas (Unand), Feri Amsari, menyebut pernyataan Jokowi bahwa presiden boleh berpihak dan kampanye untuk paslon tertentu telah merusak etika politik.

"Problematikanya bukan soal normatif peraturan perundang-undangan, problemnya adalah kerusakan etika dan moral karena presiden akan mendukung anaknya,” kata Feri, Rabu 24 Januari 2024.

Bantuan Kemanusiaan untuk Palestina Tiba di Mesir

Pernyataan Jokowi bahwa presiden berpihak dan boleh berkampanye untuk paslon tertentu disampaikan saat Presiden melakukan konferensi pers, di Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Jokowi yang merupakan ayah dari cawapres Gibran Rakabuming itu mengatakan dirinya selaku kepala negara boleh mengampanyekan dan memihak pasangan calon (paslon) dalam pilpres 2024

Pernyataan itu disampaikan Jokowi saat sedang bersama calon presiden (capres) nomor urut 02, Prabowo Subianto. Diketahui, Prabowo merupakan pasangan dari Gibran pada Pilpres 2024.

Masyarakat Sumbar Dari Kacamata Anies Baswedan

Di samping meruntuhkan etika dan moral politik, kata Feri, tindakan Jokowi juga dapat merusak sistem kepartaian. Sebab, idealnya seorang presiden mestinya mendukung calon yang diajukan partainya. 

Namun faktanya, Jokowi justru mendukung calon presiden yang diusung partai lain. Di mana, pada saat bersamaan Jokowi tidak mau mengundurkan diri dari partai tempatnya bernaung selama ini, PDIP.

“Inikan kerusakan etika berpolitik, berpartai dan letak kesahalannya pada panggilan etika dan moral,” ujar  Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Feri menilai, hingga saat ini presiden dua periode ini tidak menjalankan nilai-nilai moral bernegara. Jokowi justru tidak memberikan contoh dalam beretika politik di Indonesia.

Dia mengatakan, terdapat aturan hukum yang melarang pejabat negara menunjukkan keberpihakannya terhadap peserta pemilu atau pilpres. Hal itu diatur dalam Pasal 282 dan 283 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dalam Pasal 282, berbunyi: “Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa Kampanye.”

Sedangkan dalam Pasal 283 menyebutkan, Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap Peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye.

Lalu, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.”

Meski demikian, ketentuan tersebut bisa gugur jika pejabat negara yang bersangkutan mengambil cuti dari jabatannya dan tidak menggunakan fasilitas negara. Hal ini diatur dalam Pasal 281.

Feri menambahkan, berdasarkan ketentuan tersebut Jokowi terkesan tidak melanggar aturan. Namun semua keberpihakan Jokowi dalam pilpres 2024 berbenturan dengan etika berpolitik dan bernegara.