Sebuah Deksripsi Awal Lambang Raja Adityawarman (1347-1374 M)
- Kemendikbud
Menurut Weber, kualitas kepribadian seseorang yang dirasakan oleh pengikutnya berbeda dari orang-orang lain pada umumnya dinamakan kharisma. Kualitas ini sedemikian istimewa sehingga individu yang bersangkutan dianggap sebagai manusia unggul yang memiliki kekuatan adikodrati. Sumber legitimasi satu-satunya adalah kharisma itu sendiri, yang masa berlakunya sejauh pimpinan yang bersangkutan dapat memuaskan para pengikutnya (Etzioni, 1964: 53-54).
Adityawarman sebagai raja Kerajaan Malayu tersukses secara kedudukan telah mampu melegitimasi dirinya sebagai penguasa bumi Malayu. Dalam prasasti Kubu Rajo I telah dijelaskan bawah Adityawarman sebagai kanakamedinindra yakni sebagai penguasa tanah emas (Istiawan, 2011: 34; Kusumadewi, 2012: 23).
Emas yang sangat berlimpah di bumi Malayu khusus dataran tinggi Minangkabau menjadi alat bagi Adityawarman dalam menampakkan dirinya sebagai raja yang sukses dalam hal perekonomian. Selain itu, Adityawarman dalam beberapa tulisan ahli menyatakan sebagai raja yang kharismatik kepada rakyatnya.
Tanda khusus/ornamen yang ada di prasasti Adityawarman dapat pula dimungkinkan sebagai lambang lambang raja (Witasasri, 2011: 161). Tanda khusus yang digunakan oleh raja bisa menjadi identitas diri raja, yaitu sebagai lambang raja. Lambang yang berguna untuk menunjukkan kehadiran dan eskistensinya di mata kerajaan lain. Lambang yang digunakan raja untuk menandakan dan mempersatukan wilayahnya.
Berbalik pada bentuk-bentuk tanda khusus yang ada di beberapa prasasti Adityawarman, dapat dikatakan bahwa secara konteks tidak ada hubungan antara isi dengan motif atau tanda khusus yang ada di prasasti tersebut.
Seperti pada Prasasti Saruaso II yang berisi penyebutan Anaŋgavarmman sebagai yauvaraja (putra mahkota)dan puji - pujian kepada Aditywarmman dan anaknya, namun dilihat dari motif atau tanda khusus yang berbentuk kepala kala yang tidak memiliki keterkaitan dengan puji-pujian terhadap Adityawarman.
Motif bonggol sulur, secara makna tidak ada hubunganya dengan isi prasasti yang ada, seperti bonggol sulur di Prasasti Saruaso I yang secara isi berisi tentang upacara pentasbihan raja Adityawarmman sebagai ksetrajña dengan nama Wīśesadharani.
Ornamen bentuk matahari pada Batu Surya (Kubu Rajo II) sangat mungkin berhubungan dengan Adiyawarman yang menyebutkan dirinya sebagai keturunan Dewa Indra yang ada pada prasasti Kubu Rajo I, Pagaruyung II dan Saruaso II (Kusumadewi, 2012: 11).
Hal ini tidak terlepas dari konsep dewa-raja yaitu pandangan bahwa seorang raja merupakan perwujudan atau titisan dewa di dunia. Konsep ini lumrah ditemukan pada raja dari periode Hindu-Buddha di Indonesia. Dewa Indra dan matahari merupakan dua hal yang saling berkait.
Dalam hal ini, kita dapat mengambil sebuah rangkuman bahwa setiap raja mungkin ingin dipandang berbeda dari yang lain, ingin dirasa lebih dari yang lain, oleh karena itu dipilihlah suatu tanda yang berbeda untuk menunjukkan bahwa ia tidak sama dengan raja yang lain. Tanda khusus raja dipilih dengan alasan tertentu dan dengan maksud tertentu.
Digunakannya tanda itu sebagai ciri oleh raja, hingga ada yang kemudian digunakan kembali oleh raja yang berbeda. Tidak digunakannya lambang raja pada semua prasasti yang dikeluarkan, sementara dapat disimpulkan bahwa tanda khusus raja tidak hanya sekedar tanda dan gambaran saja. (Oleh: Dodi Chandra)