Strategi BKSDA Sumbar Atasi Konflik Buaya Versus Manusia

Ilustrasi Buaya Muara. Foto/Andri Mardiansyah
Sumber :

Padang – Konflik buaya versus manusia di Sumatra Barat, termasuk dalam kategori tinggi. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatra Barat mencatat, dalam rentang waktu 2009 hingga 2022, terdapat 71 kejadian konflik dengan rata-rata enam kasus kejadian setiap tahun. 

Foto Lepas Liar Baning Cokelat

Menurut Kepala BKSDA Sumatra Barat, Ardi Andono, konflik buaya versus manusia ini terjadi, hampir di semua daerah pesisir barat Sumatera Barat. Kabupaten Agam, menempati urutan teratas dengan jumlah kasus terbanyak. Lalu, Kabupaten Pasaman Barat di urutan kedua dan Kabupaten Padang Pariaman urutan ketiga.

“Ada tiga wilayah dengan jumlah kasus tertinggi. Agam, 29 kasus kejadian konflik, kabupaten Pasaman Barat 17 kasus dan Padang pariaman 12 kasus konflik,”ujar Ardi Andono, Senin 11 Juli 2022.

Membandel 15 Pendaki Asal Medan Diamankan Petugas BKSDA Sumbar 

Ardi bilang, konflik antara buaya versus manusia ini, dikategorikan menjadi tiga yakni, buaya menampakkan diri diluar habitat aslinya, buaya menyerang ternak warga dan, buaya menyerang manusia. 

Ardi menambahkan, melihat fakta konflik buaya versus manusia ini cukup tinggi, pihaknya mengeluarkan rekomendasi untuk mengurangi dan mengatasi potensi konflik tersebut. 

Siamang Jon-Cimung Dilepasliarkan di SM Isau-Isau Lahat

Rekomendasi itu, berisi empat poin yakni, melakukan pembatasan dan atau pelarangan kegiatan masyarakat pada masa buaya bertelur dan menetas. Buaya, biasanya bertelur dan menetas di bulan Januari hingga Juni. 

Lalu, apabila ada masyarakat yang menemukan sarang buaya, agar segera melapor ke BKSDA Sumbar dan memberikan papan peringatan kepada masyarakat untuk tidak beraktifitas di sekitar sarang buaya.

Selain itu, masyarakat pun diminta untuk tidak menggembalakan ternak di sekitar habitat buaya atau memperluas keramba hingga ke habitat aslinya. Dan, Jangan memviralkan kemunculan buaya yang berdampak terjadinya kerumunan massa.

Ardi menjelaskan, kemunculan buaya di habitat aslinya bukan merupakan konflik. Karena itu, memang wilayah home range (wilayah jelajah) mereka hidup. 

“Kemunculan buaya di sungai yang bukan habitat aslinya, kami istilahkan potensi konflik. Mengingat kemuculan buaya untuk berjemur adalah bagian dari prilaku hidupnya,”kata Ardi lagi. 

Meski demikian, menurut Ardi apabila sudah menyebabkan efek negatif kepada kehidupan sosial manusia, ekonomi, kebudayaan, dan pada konservasi satwa liar dan atau pada lingkungannya maka itu disebut konflik.

“Itu, sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan nomor 46 tahun 2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia Dan Satwa Liar,”tutup Ardi Andono.