Senator Jakarta Sebut Revisi KUHP Sebuah Keniscayaan
Padang – Anggota DPD RI Fahira Idris menyebutkan revisi kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi salah satu agenda mendesak pembangunan hukum di Indonesia dan demi menyempurnakan sistem pidana di Indonesia yang saat ini masih menggunakan warisan kolonial Belanda atau sudah berumur lebih dari 100 tahun.
Namun kata Fahira, RKUHP yang ditargetkan bakal dibawa ke paripurna untuk disahkan menjadi UU sebelum masa reses anggota dewan pada Juli 2022, kini menuai polemik di masyarakat lantaran dinilai kurang transparan dan masih ada pasal yang dinilai kontroversial terutama terkait kebebasan berpendapat.
“Revisi KUHP sebuah keniscayaan mengingat sistem pidana di Indonesia yang saat ini masih menggunakan warisan kolonial Belanda. Oleh karenanya, akan menjadi payung besar hukum pidana baru yang sudah dinantikan berpuluh-puluh tahun, revisi KUHP tidak harus sempurna dari sisi prosesnya terutama partisipasi publik tetapi juga substansinya yaitu pasal-pasal yang terkandung di dalamnya,”kata Fahira Idris, sabtu 18 Juni 2022.
Menurut Fahira, komitmen pemerintah dan parlemen untuk segera menghasilkan payung besar hukum pidana baru ini, patut diapresiasi. Undang-Undang KUHP yang baru ini, akan menjadi peradaban baru hukum pidana di Indonesia.
Oleh karena begitu pentingnya UU KUHP bagi bangsa dan negara, jangan sampai nasibnya sama seperti Undang-Undang Cipta Kerja yang dihujani gugatan ke MK setelah disahkan dan oleh MK dinyatakan cacat formil karena, dalam proses pembentukannya tidak melibatkan partisipasi publik yang maksimal atau bermakna sebagai salah satu syarat pembentukan undang-undang yang baik.
“Buka partisipasi publik seluas-luasnya agar RKUHP tidak bernasib sama seperti Undang-Undang Cipta Kerja,” ujar Fahira Idris.
Fahira menilai, partisipasi masyarakat yang bermakna terhadap RUU. Setidaknya, dilakukan seluas-luasnya saat pengajuan RUU, saat pembahasan bersama antara DPR, Presiden dan Pemerintah.