Teater Asa dan Naskah Munir: Ketidakadilan di Panggung yang Bernyawa
- Masbroted
Padang – Dimalam pekan pertama dan kedua November, Gedung Kebudayaan menjadi saksi bisu Festival Teater Sumatera Barat 2024.
Di tengah sorotan lampu yang mengintip dari sudut-sudut panggung, Teater Asa dari Padang Panjang bersama 11 komunitas teater lainnya hadir dengan semangat yang tak terbendung.
Dalam gelaran itu, komunitas ini berdiri di barisan awal pengisi panggung, Sabtu 2 November 2024 tepatnya, membawa sebuah naskah yang tidak hanya menggugah, tetapi juga melayangkan tamparan halus kepada realitas sosial “Matinya Seorang Pejuang” karya RX Rudy Gunawan.
Mengusung tema Merespon Ruang Bebas, pengkarya diberi kebebasan memilih tempat dan cerita yang akan mereka sajikan. Teater Asa memilih lantai empat ruang serbaguna, sebuah keputusan yang tidak hanya strategis tetapi juga menyiratkan semangat simbolik.
"Di lantai empat, semuanya terasa lebih hidup," ujar Faridho Yuda, aktor sekaligus penggerak di balik panggung.
Kata Faridho, selain lebih efektif untuk setting, lampu ultraviolet kami bisa maksimal di sini. Kami ingin menyalakan tidak hanya panggung, tetapi juga hati penonton.
Dia bilang, karya Matinya Seorang Pejuang, membangkitkan kisah Munir, seorang aktivis hak asasi manusia yang menjadi martir di atas penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam tahun 2004.
Naskah ini menurut Faridho, ibarat cermin yang retak yang memantulkan kebenaran tentang ketidakadilan sosial, tetapi dengan sisi-sisi tajam yang mengguncang kesadaran.
Teater Asa mengemas cerita ini dalam tiga kotak panggung. Pertama diisi sahabat Munir yang tak henti menceritakan perjuangan Munir melawan ketidakadilan, lalu menjadi monumen hidup, menghadirkan sosok Munir di tengah perjuangannya dan, kotak ketiga adalah layar berita yang menyampaikan kabar kematian Munir dengan dingin dan formalitas yang memekakan.
Kesederhanaan setting justru menjadi kekuatannya. Kertas putih yang ditempel sembarangan di dinding menyala karena sentuhan ultraviolet, seperti serpihan mimpi dan kenangan yang enggan mati.
Di satu adegan, sahabat Munir menghamburkan kertas-kertas ke udara—setiap lembar terasa seperti jerit tak terdengar, menyentuh hati penonton lebih dalam daripada kata-kata.
Gitar yang dipetik oleh tokoh Munir, kursi kayu, dan terpal yang menjadi saksi bisu reka ulang kematiannya, semuanya bersatu membentuk simfoni visual yang menggetarkan.
Ketegangan mencuat ketika sorak-sorai penonton menggema di ruangan. "Merdeka! Merdeka!" teriakan itu bukan hanya dialog, melainkan ledakan emosi yang terpancar dari barisan audiens.
Sutradara tampaknya sengaja menciptakan momen ini untuk melibatkan mereka dalam narasi yang sedang berlangsung. Meski lampu sempat padam tiba-tiba dan beberapa dialog terdengar samar, penonton tetap terpaku, tersedot ke dalam cerita yang terasa begitu dekat dengan kenyataan mereka.
Dalam 40 menit yang penuh intensitas, Teater Asa berhasil membawa panggung menjadi ruang hidup, tempat sejarah, emosi, dan seni bertaut. Tidak ada yang meninggalkan gedung tanpa perasaan yang bercampur aduk: marah, sedih, dan terinspirasi.
“Matinya Seorang Pejuang” bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah pengingat, bahwa di balik setiap kisah yang terlupakan, ada nyala kecil yang siap menyala kembali.
Teater Asa berhasil menjadi pemantik bagi nyala itu, membiarkan nama Munir hidup kembali dalam setiap hati yang menyaksikannya.
Penulis : Sulastri WulanDari, Mahasiswa Pascasarjana Institut Seni Indonesia Padang Panjang