Esensi ’30 By 30’ Untuk Keberlangsungan Manusia dan Alam

Ilustrasi human. Foto/Pixabay
Sumber :

Padang – Negosisiasi para pihak semakin mendekati puncak COP 15 CBD di Kunming, China pada Agustus 2022 walaupun tanggalnya hingga saat ini belum ditentukan. Di mana draft dokumen Global Biodiversity Framework (GBF)-post 2020 akan dibahas dan diharapkan dapat disepakati. Hal ini menarik perhatian pemerhati keanekaragaman hayati untuk memberikan masukan dan solusi menghadapi tantangan menurunnya keanekaragaman hayati di berbagai belahan dunia. 

Bawa Ganja Ratusan Kilo, Oknum Polisi Padang Panjang Ditangkap 

Dilansir dari lama wwf.id, 30 by 30 adalah harapan untuk mengoptimalkan lanskap, air tawar dan laut yang ramah terhadap keanekaragaman hayati. Hal ini untuk menjaga biodiversitas, jasa lingkungan, dan habitat yang terus menurun baik dari sisi kuantitas dan kualitas. Negosiasi terhadap target ruang keanekaragaman hayati berbeda dengan tata kelola dan bagaimana pengelolaannya dan oleh siapa. Di mana hal ini merupakan target global. Tentu penerjemahan di setiap negara akan memiliki konteks masing-masing sesuai dengan kebijakan nasional dan kondisi sosial. 

Perkembangan pendekatan konservasi keanekaragaman hayati yang lebih inklusif terus berkembang melalui pendekatan multi-aktor pada skala lanskap. Di mana beragam aktor penggunaan lahan dapat berkontribusi dengan menerapkan prinsip berkelanjutan (environmental, social and governance-ESG). Hal ini akan menjadi aksi kolektif untuk kepentingan bersama mencapai target SDGs. 

Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024 Jelajahi 7 Kawasan Kearifan Lokal di Indonesia

Adanya beragam pola pendekatan seperti ekonomi hijau, pertumbuhan hijau, pembangunan rendah emisi memberikan multi efek manfaat bagi manusia dan alam termasuk keanekaragaman hayati di dalamnya. Padangan eksklusif ecocentrism dan sociocentrism telah terintegrasi dalam pendekatan bentang lahan co-exist untuk manusia dan alam.  

Melalui cara pendekatan lanskap, air tawar dan laut tersebut upaya pelestarian keanekaragaman hayati dapat dilakukan tidak terbatas pada kawasan-kawasan yang berstatus konservasi, namun juga pada kawasan budidaya yang bernilai konservasi tinggi.

Prabowo Subianto Sambut Hari Buruh 2024 dengan Harapan Indonesia Emas

Misalnya, melalui pengelolaan hutan lestari akan berkontribusi terhadap kawasan-kawasan yang bernilai konservasi untuk dipertahankan, begitu pula pada pendekatan pertanian berkelanjutan akan memberikan perlindungan pada area bernilai konservasi.

Sedangkan pada ekosistem air tawar misalnya sungai yang berfungsi mengangkut nutrisi dan mineral ke laut, juga merupakan habitat bagi spesies aquatik. Begitu pula, ekosistem kritis pesisir dan laut penting untuk mempertahankan tempat pemijahan dan berkembang biak bagi pertumbuhan biota laut.

Hal ini juga terefleksi dalam pola pemanfaatan sumber daya oleh masyarakat yang masih bergantung pada hutan. Sebagai contoh, kegiatan fasilitasi pemetaan partisipatif yang telah dilakukan bersama masyarakat adat pemegang hak ulayat di Papua (Merauke, Boven Digul, dan Mappi) tergambar jelas adanya beragam fungsi penggunaan lahan masyarakat baik dari lahan untuk pemenuhan protein, karbohidrat, sumber air, tempat sakral dan sebagainya. Tentu ruang kelola masyarakat adat ini menjadi bagian dalam mosaik lanskap yang dimanfaatkan secara lestari dan turun-temurun. 

Oleh karena itu, kami percaya ada persyaratan penting sebagai syarat untuk mendukung gagasan ini seperti sepenuhnya mengakui dan mengamankan hak masyarakat termasuk mempromosikan beragam model ‘tata kelola' melalui pengukuran konservasi berbasis kawasan efektif lainnya (OECMs) dan mengurangi separuh jejak produksi dan konsumsi pada tahun 2030, untuk negara-negara yang konsumsi per kapitanya tinggi (negara maju).

Hal yang perlu dilakukan kemudian adalah mengukur status dan tren keanekaragaman hayati pada beragam pola penggunaan lahan sebagai mosaik antara kawasan berfungsi lindung dan budidaya yang dikelola oleh beragam aktor dan sektor, termasuk masyarakat adat. Kontribusi para pihak dalam pengelolaan lanskap akan memberikan ruang yang ramah terhadap keanekaragaman hayati dan co-exist dalam habitat yang sama.

Usulan perluasan ruang untuk konservasi melalui 30 by 30 yang diartikan sempit pada ‘status dan penguasaan kawasan’, telah mendegradasikan cara pandang kreatif dan inovatif dalam memberikan solusi terhadap upaya pelestarian keanekaragaman hayati. Seperti bagaimana mengatasi konektivitas habitat di hutan yang terfragmentasi, mempertahankan populasi yang layak, menjaga keterwakilan tipe ekosistem, pengelolaan yang efektif, dan tata kelola yang inklusif.

Sebaliknya meningkatkan target perluasan ruang pelestarian keanekaragaman hayati akan merangsang pemikiran yang kritis dan kreatif guna menjadikan alam sebagai solusi (nature-based solutions), terhadap masalah sosial yang kita hadapi seperti banjir, ketahanan pangan, bencana iklim dan beragam ancaman lainnya.