Perempuan Dalam Perhutanan Sosial
Padang – Perhutanan sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari di kawasan hutan negara, hutan hak maupun hutan adat, oleh masyarakat setempat ataupun masyarakat hukum adat untuk meningkatkan kesejahteraan tanpa mengabaikan ekologi dan sosial budaya setempat. Terkait isu gender, perhutanan sosial bersifat netral gender. Ia terbuka bagi laki-laki maupun perempuan.
Hal Ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 9/2021 Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial, Bab 1 Ketentuan Umum poin 26. KLHK juga mulai memberikan anggaran khusus untuk kelompok perempuan, seperti yang dilakukan di Sumatra.
Memang kerap timbul keraguan mengenai peran perempuan dalam perhutanan sosial. Kalaupun berkiprah, dinilai tidak sepadan dengan laki-laki. Data KLHK menunjukkan dari 1 juta lebih kepala keluarga yang tercatat, jumlah perempuan sekitar 13,2 persen. Data Katadata menunjukkan hanya sekitar 5 persen.
Terlepas dari berbagai kelemahan pendataan dan minimnya kajian akademis terkait, tulisan ini memaparkan realita bahwa peran dan keterlibatan perempuan dalam perhutanan sosial itu ada dan nyata. Kiprah ini diulik dari tiga kelola perhutanan sosial (kawasan, kelembagaan dan usaha), disertai berbagai contoh tingkat tapak.
Melansir laman kehati.or.id, Perempuan memang kerap diragukan kemampuannya dalam mengelola perhutanan sosial. Dalam suatu webinar yang digelar KLHK dan suatu lembaga donor, 25 Agustus 2021, Purwani menyinggung hal ini.
Purwani bersama 24 perempuan lain adalah anggota Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama. Mereka tinggal di Desa Pal 8, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Sejak 5 Maret 2019, KPPL menjalankan kemitraan kehutanan dengan Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (BBTNKS).
Purwani berkisah mulanya mereka diragukan warga desa. “Apa mungkin perempuan bisa? Dalam pandangan mereka, perempuan dianggap tidak mampu mengelola dan memanfaatkan hutan. Disebut tidak memiliki pengalaman tentang hutan,” ujarnya.
Hal serupa juga dihadapi Ai Nurhayati, satu-satunya perempuan, anggota Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Persatuan Gunung Puntang Indonesia (PGPI) di Gunung Puntang, Bandung Barat, Jawa Barat. Dulu, keluarga dan kawan-kawan kerap khawatir melihat kiprahnya. “Mereka sangat rewel dan protektif,” tuturnya dalam Diskusi Serial Cangkir Kopi bertemakan agroforestri pada 19 April 2022.
Ai juga menghadapi tantangan lahan yang tidak subur. Namun, dia membuktikan diri mampu. Dalam dua tahun, lahan kembali subur. Ai mengelola kopi agroforestri yang dipadukan dengan cabai. Keuntungan ekonomi sudah mulai diraih. Kekhawatiran berganti dengan kepercayaan.
Peran laki-laki bisa jadi memang masih dominan. Namun, berbagai temuan dan testimoni dari tingkat tapak menunjukkan peran perempuan itu ada dan nyata. Mereka berperan dalam tiga kelola perhutanan sosial.
Ada juga peran perempuan yang hampir mustahil bisa digantikan. Misalnya dalam tradisi menganyam rotan perempuan Dayak di Kalimantan yang memasukkan simbol-simbol alam dalam motif anyaman. Ini dilakukan perempuan Desa Katimpun, Kapuas, Kalimantan Tengah. Mereka dari Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Dare Jawet, beranggotakan 43 orang. Dare Jawet tergabung dalam Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Katimpun.
Dare Jawet beranggotakan perempuan yang sudah menikah, sebagian janda tua. Menganyam uwei (rotan) sudah dilakukan turun temurun. Diajarkan para tambi buyut (nenek buyut) atau umai (ibu) kepada anak-anak perempuan. “Kalau mau menikah, seorang perempuan harus bisa menganyam uwei,” tutur sang Ketua, Rusida.
Nama Dare Jawet memiliki makna. Dare artinya motif, jawet adalah anyaman. Hasil anyaman berupa tas berbagai bentuk dan ukuran. Selalu ada motif tradisional terpampang di setiap tas. Beberapa motif di antaranya matan andau (matahari), mata saluang (mata ikan saluang), mata bilis (mata ikan bilis), siku kalawet (kera endemik Kalimantan Tengah), mata punai (mata burung punai), tunjang palara (akar tunjang dari kayu palara) dan upak pusu’ (kulit bunga pinang). Seluruh motif tersebut menggambarkan kedekatan masyarakat dengan alam.
Peran penting perempuan lain yang sulit digantikan misalnya dalam pengelolaan tanaman obat. Kajian etnobotanik, yang menelaah pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat, memperlihatkan eratnya hubungan perempuan dengan tumbuhan obat di kawasan hutan. Tumbuhan ini disebut herbal, jamu atau empon-empon. Peran perempuan lainnya juga ditemui dalam pengelolaan pangan dan tanaman hias.
Telah disebut ada tiga kelola dalam perhutanan sosial, yakni kelola kawasan, kelembagaan dan usaha. Kelola kawasan terkait lokasi perhutanan sosial yang telah mendapatkan persetujuan. Misalnya penandaan batas lokasi, penyepakatan batas dan luas andil garapan petani dalam kelompok, serta identifikasi potensi maupun kerentanan di lokasi perhutanan sosial.
Kelola kelembagaan terkait penguatan kelompok, peningkatan kapasitas, perencanaan, implementasi, monitoring evaluasi, kesepakatan terkait dan sebagainya. Sedangkan kelola usaha terkait upaya mengembangkan usaha kelompok sesuai potensi yang ada. Tiga kelola ini saling mendukung secara sinergis, serta kerap beririsan. Ketiganya berpijak pada keseimbangan ekonomi, ekologi dan sosial-budaya, serta berpegang pada keunikan dan potensi di setiap lokasi.
Berikut ini diberikan contoh pengelolaan perhutanan sosial oleh perempuan. Tentu tidak bisa mewakili semua atau sama di semua lokasi. Tapi contoh ini bisa menjadi bukti kuat tentang pentingnya kiprah perempuan.
Pertama, dari Lembaga Pengelola Hutan Kampung (LPHK) Damaran Baru, Bener Meriah, Aceh. LPHK mengelola Hutan Desa. Upaya ini bermula dari kekhawatiran Sumini dan suami, bahwa pembalakan hutan di Gunung Bumi Telong akan berdampak buruk pada desa-desa di bawahnya. Ini terbukti. Tahun 2015, banjir bandang menerjang perkebunan dan permukiman. Meski tidak menelan korban, penduduk mengalami kerugian dan merasakan trauma.
Tidak ingin terulang, Sumini dan beberapa perempuan berembuk, lalu membentuk kelompok. Semua pengurus perempuan, dengan jumlah anggota sebanyak 30 orang, dimana 9 di antaranya laki-laki. Sumini menjadi ketua kelompok. LPHK Damaran Baru pada 2019 mengantongi izin (sekarang disebut persetujuan) hutan desa dari KLHK seluas 251 hektar selama 35 tahun.
Akses legal ini mengantar masyarakat mengembangkan kelembagaan, termasuk kelompok ranger dengan tugas utama menjaga kawasan hutan. Mereka rutin berpatroli untuk mencegah tindakan-tindakan destruktif seperti melukai batang kayu, menebang dan memicu api di hutan. Anggota ranger berjumlah 24 orang, yaitu 10 perempuan dan 14 laki-laki.
Perempuan ranger ini dalam bahasa Gayo disebut “Mpu Uteun,” yang menunjukkan ketangguhan yang sama dengan laki-laki. Secara bergantian mereka berpatroli selama 10 hari per bulan. Mereka sanggup berjalan kaki puluhan kilometer, dan kadang bermalam di hutan. Selama berpatroli, ranger juga mencatat keanekaragaman flora dan fauna serta menanam bibit.
Untuk kelola usaha, masyarakat Damaran Baru mengembangkan kopi agroforestri, palawija, budi daya anggrek, pembuatan tahu, desa wisata dan sebagainya. Kegigihan mereka diakui, termasuk oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Dalam situs resmi kementerian ini dipaparkan bahwa masyarakat Damaran Baru merupakan masyarakat pekerja keras dan gigih. Ketika warga di daerah lain masih tidur, masyarakat Damaran Baru sudah bekerja mengolah tahu untuk dipasok ke pasar Bener Meriah dan Aceh Tengah.
Contoh kedua dari para perempuan Desa Pal 8, Rejang Lebong, Bengkulu, yang membentuk KPPL Maju Bersama dan beranggotakan 25 orang. Sejak 2019, KPPL menjalin kemitraan kehutanan dengan BBTNKS. Mereka menjaga kelestarian hutan serta menanam kecombrang dan pakis di bawah tegakan pohon, tanpa menebang. Mereka juga gigih mengajak penduduk untuk menanam dan menyerukan tolak pembalakan.
Setiap 1 Muharam, KPPL selalu membagikan bibit gratis untuk ditanami. Sedekah bibit ini merupakan rangkaian dari sedekah bumi. Untuk usaha, KPPL membudidayakan pakis dan kecombrang, yang diolah dan dijual ke pasar lokal. Kecombrang menjadi sirup, dodol, selai, wajik dan rempeyek. Pakis menjadi stik dan rempeyek.
Contoh ketiga dari KUPS Dare Jawet yaitu tradisi menyumbang pada kelestarian hutan dimana rotan membutuhkan pohon yang tinggi dan besar sebagai media tumbuh dan merambat. Dare Jawet juga kerap mengikutsertakan anggota ke pelatihan terkait. Mereka pun telah menjadi tempat belajar bagi perempuan desa sekitar. Tas anyaman Dare Jawet terjual hingga Bali, bahkan Jepang. Pandemi Covid-19 sempat menghambat pasar. Namun, pemulihan pasar sudah mulai dilakukan. Tidak ada kata menyerah dalam kamus Dare Jawet.
Beberapa contoh lain ditemukan di Jambi, Bangka Belitung, Jawa Barat dan Sulawesi Tengah. Sebagai penutup, bisa dikatakan, meski kerap tidak tergambar dalam data kuantitatif, tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan selalu memiliki peran penting dalam pengelolaan perhutanan sosial. Para ibu bumi ini terus bergerak dengan caranya untuk memastikan pengelolaan hutan bisa terus berkelanjutan dan berkeadilan bagi semua.