Kritik Seni Pesta Rakyat Dalam Rangka HUT TNI 79 Di Silang Monas Jakarta

Pesta Rakyat Dalam Rangka HUT TNI 79 Di Silang Monas Jakarta
Sumber :
  • Padang Viva

Padang – Langit Jakarta memancarkan warna senja yang perlahan memudar, menggantikan hiruk pikuk kota dengan gemuruh lain yang tak kalah megah. 

Menyigi Simbolisasi Trauma dalam Gerak dan Sunyi Jejak Tak Terlihat

Di silang Monas, Sabtu, 21 September 2024 sebuah panggung berdiri gagah, menjadi pusat perhatian ribuan mata yang berkumpul dalam perayaan HUT TNI ke-79. Pesta Rakyat, begitu mereka menyebutnya. 

Di sinilah, di bawah cahaya lampu beam dan kilau videotron, musik, dan patriotisme menyatu dalam harmoni yang penuh semangat. 

Malin Bukan Anak Durhaka: Antara Lirih dan Dilema dalam Monolog Malin Kundang

Panggung itu, luas dan menjulang, memuat perangkat musik yang mengundang decak kagum. Alat-alat band, sound system besar, dan tata cahaya berkolaborasi menciptakan atmosfer yang menjanjikan malam penuh hiburan. 

Penonton mulai berkerumun, membawa energi yang tak sabar menanti dentuman musik pertama.

Ketimpangan Karakter Windi dan Tika, Komedi Yang Mengaburkan Protagonis di Pementasan Babi Babu

Namun, di balik janji gemerlap itu, ada cerita yang mengalir tentang kesempurnaan yang dicari, tentang ritme yang kadang meleset, dan tentang semangat yang tak pernah pudar.

Di atas panggung, grup musik dari satuan militer membuka pertunjukan. Mereka, yang dikenal sebagai home band, memainkan beragam genre, mulai dari pop, rock, hingga dangdut koplo. 

Tangan mereka merangkai melodi, kaki mereka mengetuk tempo, sementara suara mereka melayang di atas kerumunan yang bergoyang.

Dekatnya jarak antara panggung dan penonton menciptakan interaksi yang hangat. Seakan-akan panggung itu bukan hanya milik para musisi, tetapi juga milik mereka yang berdiri di bawahnya.

Namun, seperti halnya nada yang kadang sumbang, hari itu tak sepenuhnya sempurna. Bunyi yang keluar dari speaker terasa kurang padu, instrumen-instrumen seolah berbicara dalam bahasa yang berbeda. 

Koordinasi antara soundman, kru, dan pemain terasa kurang menyatu, meninggalkan celah dalam harmoni yang diharapkan. Di beberapa lagu, ritme yang ditampilkan tak memiliki rasa, sekadar bunyi yang berderak tanpa jiwa.

Salah satu penyanyi, yang dikenal sebagai bagian dari TNI, mencoba membawa suasana. Suaranya yang khas menyelinap di antara kekurangan teknis, namun itu tak cukup untuk menyelamatkan keseluruhan pertunjukan. 

Penyanyi profesional akhirnya diundang ke atas panggung, mengisi ruang yang sebelumnya terasa kosong dengan alunan suara yang lebih terasah. Penonton, yang awalnya hanya bergoyang pelan, kini kembali bersemangat, menyambut irama yang lebih hidup.

Dan di situlah letak keajaiban malam itu. Meskipun ada ketidaksempurnaan, musik tetap menjadi jembatan yang menghubungkan hati. Penonton tetap bernyanyi, tertawa, dan berjoget bersama, menemukan kegembiraan dalam setiap nada yang dimainkan. 

Mereka pulang membawa cerita bukan tentang kesalahan teknis, tetapi tentang bagaimana musik menghidupkan malam mereka.

Pesta rakyat itu, meskipun tidak sempurna, adalah pengingat bahwa panggung tidak hanya tentang suara yang keluar dari speaker atau cahaya yang berkilau di mata. 

Panggung adalah tentang rasa, tentang cerita, dan tentang bagaimana ia menyentuh hati mereka yang datang. Dan di tengah Monas yang megah, di bawah bendera merah putih yang berkibar gagah, musik tetap menjadi bahasa yang menyatukan.

Penulis: Defri Yusra Maidon, Mahasiswa Pascasarjana Institut Seni Indonesia Padang Panjang