Ketimpangan Karakter Windi dan Tika, Komedi Yang Mengaburkan Protagonis di Pementasan Babi Babu
- Iis Wulandari
Padang – Di bawah sorot lampu panggung yang redup, sebuah cerita tentang kuasa dan penindasan dipentaskan.
Babi Babu, sebuah naskah berat karya Rachman Sabur yang seharusnya mengguncang emosi penonton, justru menjelma menjadi sebuah tontonan yang lebih menggelitik perut.
Adalah Windi Dwi Saputri, mahasiswa jurusan seni teater Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, yang menjadi jantung dari pertunjukan itu.
Ia menjadi pemeran Pelayan 1, sosok yang seharusnya menjadi simbol penderitaan dan perlawanan.
Namun, dalam perjalanannya, Windi seakan tenggelam dalam bayang-bayang adiknya, Tika namanya, berperan sebagai Pelayan 2.
Pementasan Babi Babu
- Iis Wulandari
Di malam itu, Teater Arena Mursal Einstein pun, menjadi saksi lahirnya berbagai ekspresi seni panggung dalam pementasan Babi Babu.
Naskah Babi Babu yang dibawakan oleh Windi dalam pertunjukan itu, menggali tema tentang penindasan sosial dengan balutan absurditas yang memancing tawa. Dinamika panggung pada malam itu, menyuguhkan sesuatu yang tak terduga.
Humor Tika, pemeran Pelayan 2, mendominasi atmosfer hingga menenggelamkan pesona protagonis utama yakni Windi sebagai Pelayan 1. Ada penyisipan elemen komidi dalam cerita ini yang menjadi salah satu daya tarik.
Jika ditelaah lebih dalam, naskah Babi Babu, sebetulnya menggambarkan konflik berlapis, penindasan, perlawanan, hingga balas dendam yang diolah dalam nuansa tragikomedi.
Di atas panggung, absurditas yang terselip dalam narasi seharusnya menjadi medium untuk menyoroti kegetiran relasi majikan dan pelayan.
Pementasan Babi Babu
- Iis Wulandari
Namun, kenyataan yang hadir di hadapan penonton lebih berpihak pada komedi yang diciptakan Tika dan Khalida (Nyonya), sementara Windi, yang seharusnya menjadi jiwa pementasan, justru kehilangan momentum.
Sebagai mahasiswa teruji, Windi diharapkan mampu menampilkan karakter dengan kekuatan dan kedalaman. Namun, sorotan justru beralih pada Tika dengan vokal lantang, gestur jenaka, dan energi yang mampu mencuri perhatian.
Kehadirannya Tika pada pertunjukan ini begitu hidup. Dia mampu membangun interaksi yang memikat penonton hingga menjadikannya magnet utama pementasan.
Sedangkan Khalida, selaku Nyonya, juga menambah warna lewat peran yang sarat humor, memperkuat dominasi komikal di atas panggung.
Kekurangan dalam artikulasi dan proyeksi suara Windi dalam pertunjukkan ini, menjadi hambatan serius. Ketika emosi dan dialog yang ia bawakan tidak sepenuhnya sampai ke penonton, karakter Windi pun kehilangan daya tarik.
Penampilan Windi seperti terjebak dalam bayang-bayang kejayaan pemeran pendukung. Pertunjukkan ini pun terkesan menyisakan kekosongan yang terasa dalam jalannya cerita.
Dalam seni pertunjukkan, vokal menjadi salah satu elemen utama yang sangat penting. Tika selaku pelayan 2 mampu menunjukkan kekuatan vokalnya yang jelas.
Sangat kontras dengan Windi, meskipun yang bersangkutan berusaha memainkan peran dengan sepenuh hati. Lagi-lagi, ia belum mampu mengatasi dominasi Tika yang sangat kuat.
Ketidakmapuan Windi dalam mengimbangi Tika, berujung pada ketidakseimbangan dalam pementasan. Penonton lebih tertarik dengan Tika daripada Windi.
Suaranya yang kurang jelas dan artikulasi yang kurang tajam, menjadi kendala dalam menyampaikan pesan dan emosi dari karakter yang Windi perankan. Ketika berdialog misalnua, terkadang artikulasinya tidak sampai ke barisan penonton.
Kondisi ini, lalu membuat Windi sebagai pemeran utama dalam pertunjukan Babi Babu, kehilangan banyak kesempatan untuk menyampaikan kedalaman emosional dari karakter yang ia bawakan.
Pementasan Babi Babu
- Iis Wulandari
Belum lagi soal tata panggung. Ruang kamar dengan kasur, meja rias, dan taburan bunga kuning berserakan, meski berhasil menghadirkan kesan realistis.
Namun, tak seimbang dengan pencahayaan terutama diawal adegan sehingga, menyebabkan ekspresi aktor alias komponen vital dalam teater ini, tidak terlihat jelas.
Kondisi ini, juga menjadi pukulan yang tak terhindarkan bagi keterhubungan emosional antara aktor dan penonton.
Dominasi Tika dan Khalida, memperlihatkan potensi komedi yang luar biasa, tetapi sekaligus menyoroti perlunya eksplorasi lebih lanjut pada karakter utama.
Windi memiliki bakat, namun penempatan peran dan persiapan tekniknya tampak belum optimal untuk menghadapi dinamika yang intens di atas panggung.
Meski demikian, pementasan ini cukup berhasil menghadirkan gelak tawa melalui komedi absurdnya.
Warna menyuarakan kritik terselubung tentang pentingnya keseimbangan dalam pembagian peran, tersampaikan cukup baik.
Pementasan ini tetaplah sebuah perayaan seni peran yang menghidupkan ruang teater. Setiap elemen, dari humor hingga kegetiran, menjadi bagian dari mozaik estetika yang, meskipun belum sempurna, tetap layak dikenang.
Bagi Windi dan seluruh tim, pementasan ini adalah langkah berharga menuju panggung-panggung berikutnya, di mana cerita dan karakter bisa menemukan keseimbangan yang lebih matang. Semoga.
Penulis : Iis Wulandari, Mahasiswa Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang