Menyigi Simbolisasi Trauma dalam Gerak dan Sunyi Jejak Tak Terlihat
- Muhammad Aziz
Padang – Selasa malam itu, 17 Desember 2024, di panggung sunyi yang berpendar, melalui karya tari bertajuk Jejak Tak Terlihat, ia menghadirkan narasi tentang trauma tersembunyi, terbungkus dalam simbolisasi gerak yang mencekam dengan properti yang bicara tanpa suara.
Adalah Enjeli Mairiza, Mahasiswa strata 1 Seni Tari semester 7 yang meramu Jejak Tak Terlihat menjadi sebuah pertunjukkan yang apik. Disuguhkan sebagai bagian dari ujian komposisi IV di Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang.
Enjeli Mairiza tak sendiri, dia dibantu 3 penari lainnya. Tempat pertunjukkannya di Auditorium Boestanul Arifin Adam.
Karya ini menembus batasan, menggambarkan luka yang tak terlihat namun terasa, membisikkan ke dalam hati penonton bahwa setiap gerakan membawa cerita, setiap properti menyimpan rahasia.
Ya, Jejak Tak Terlihat merupakan sebuah perjalanan menuju kedalaman jiwa yang terbelenggu trauma. Di atas panggung yang berbisik pelan dengan gelap, narasi tentang luka tersembunyi itu mulai terkuak.
Simbolisasi gerak dan properti kain hitam sebagai latar, menjadi medium yang hidup, menyuarakan pergulatan batin yang sering kali tidak kasat mata.
Bayangkan seorang penari di awal pertunjukan, terbungkus kain hitam pekat seperti malam yang tak berujung. Kain itu tak sekadar properti, ia adalah metafora. Belenggu yang menekan, membatasi, tetapi juga diam-diam mengundang keberanian untuk melawan.
Gerakan sang penari, yang seperti ingin melepaskan diri dari dekapan kain tersebut, menggambarkan pergulatan batin yang tak pernah selesai. Setiap tarikan, setiap dorongan tubuh yang tersembunyi di balik kain, seolah berkata “Lepaskan aku dari bayang-bayang ini.”
Namun, ketika sorotan lampu bergeser ke sudut panggung, muncul sosok lain. Disebut dengan penari kedua. Dia membawa kesinambungan narasi, meski tak sepenuhnya tajam.
Ada repetisi di sana, gerakan yang seolah mengulang tanpa menyentuh dinamika baru. Padahal, trauma adalah perjalanan penuh liku, naik turun seperti gelombang yang liar.
Keempat penari perempuan ini, masing-masing membawa tenaga yang nyata dalam tubuh mereka. Gerakan yang memancarkan ketegangan dan kekuatan menjadi nyawa dari tema besar ini.
Meski demikian, harmoni yang diharapkan dalam gerak rampak, tak selalu hadir. Ketidakkonsistenan terlihat jelas saat mereka membentuk pola lantai segi empat, sebuah formasi yang semestinya memancarkan keteraturan tetapi justru kehilangan kekuatannya karena kurangnya keseragaman.
Seperti fragmen jiwa yang retak, pola itu terasa tak utuh, sebuah simbol yang mungkin tak disengaja. Formasi yang kurang rapi dan tidak merata, mengurangi keindahan visual panggung, yang seharusnya menjadi elemen penegas dalam struktur komposisi pada pertunjukan ini.
Tampak pula kostum berwarna merah dan hitam yang menjadi penanda visual menggugah. Warna merah, bagai bara yang masih menyala seperti membawa simbol keteguhan, sementara hitam tetap menjadi pengingat akan kelamnya masa lalu.
Rambut para penari pun tampak terurai dengan jalinan yang rapi, menambah dimensi karakter yang dramatis. Kontras antara warna kostum dan kain hitam menciptakan dialog visual yang kaya, sebuah cerita tentang kekuatan yang tumbuh dari kerapuhan.
Namun, suara yang mengiring audio tekno dengan denyut ritmi terasa terlalu mendominasi. Musik yang seharusnya mengalir bersama gerakan, di beberapa momen justru menjadi beban.
Penari yang terlihat menghitung tempo tanpak dengan ragu-ragu adalah pertanda bahwa harmoni antara bunyi dan tubuh belum sepenuhnya menyatu. Pencahayaan pun, meski menawarkan fokus ke sayap panggung, terasa kurang menggali atmosfer yang dalam.
Meski demikian, Jejak Tak Terlihat adalah karya dengan ide yang kuat dan relevan. Gagasan tentang trauma yang tersembunyi, tetapi terus membekas, divisualisasikan melalui simbol-simbol sederhana namun penuh makna.
Ada kedalaman di sana, sebuah refleksi tentang keberanian untuk memulihkan diri. Namun, seperti luka yang belum sepenuhnya sembuh, karya ini masih menyimpan ruang untuk penyempurnaan.
Kekompakan gerak, formasi pola lantai, dan keselarasan dengan musik adalah tantangan yang menanti untuk ditaklukkan selanjutnya.
Di balik segala kekurangan teknis itu, Jejak Tak Terlihat berhasil menyampaikan pesan yang menyentuh. Pemulihan bukanlah tujuan akhir. Ia adalah perjalanan panjang yang menuntut keberanian.
Sebuah wacana yang, tanpa suara keras, mungkin telah menggema dalam hati banyak orang. Karena, siapa yang tak memiliki jejak tak terlihat itu di sudut jiwanya? entahlah.
Penulis: Yudhitia Wardi, Mahasiswa Pascasarjana Minat Pengkajian Seni Tari, Institut Seni Indonesia Padangpanjang