Teater Asa dan Naskah Munir: Ketidakadilan di Panggung yang Bernyawa
- Masbroted
Naskah ini menurut Faridho, ibarat cermin yang retak yang memantulkan kebenaran tentang ketidakadilan sosial, tetapi dengan sisi-sisi tajam yang mengguncang kesadaran.
Teater Asa mengemas cerita ini dalam tiga kotak panggung. Pertama diisi sahabat Munir yang tak henti menceritakan perjuangan Munir melawan ketidakadilan, lalu menjadi monumen hidup, menghadirkan sosok Munir di tengah perjuangannya dan, kotak ketiga adalah layar berita yang menyampaikan kabar kematian Munir dengan dingin dan formalitas yang memekakan.
Kesederhanaan setting justru menjadi kekuatannya. Kertas putih yang ditempel sembarangan di dinding menyala karena sentuhan ultraviolet, seperti serpihan mimpi dan kenangan yang enggan mati.
Di satu adegan, sahabat Munir menghamburkan kertas-kertas ke udara—setiap lembar terasa seperti jerit tak terdengar, menyentuh hati penonton lebih dalam daripada kata-kata.
Gitar yang dipetik oleh tokoh Munir, kursi kayu, dan terpal yang menjadi saksi bisu reka ulang kematiannya, semuanya bersatu membentuk simfoni visual yang menggetarkan.
Ketegangan mencuat ketika sorak-sorai penonton menggema di ruangan. "Merdeka! Merdeka!" teriakan itu bukan hanya dialog, melainkan ledakan emosi yang terpancar dari barisan audiens.
Sutradara tampaknya sengaja menciptakan momen ini untuk melibatkan mereka dalam narasi yang sedang berlangsung. Meski lampu sempat padam tiba-tiba dan beberapa dialog terdengar samar, penonton tetap terpaku, tersedot ke dalam cerita yang terasa begitu dekat dengan kenyataan mereka.