Perempuan Dalam Perhutanan Sosial

Ilustrasi Perempuan. Sumebr Foto/kehati.or.id
Sumber :

Telah disebut ada tiga kelola dalam perhutanan sosial, yakni kelola kawasan, kelembagaan dan usaha. Kelola kawasan terkait lokasi perhutanan sosial yang telah mendapatkan persetujuan. Misalnya penandaan batas lokasi, penyepakatan batas dan luas andil garapan petani dalam kelompok, serta identifikasi potensi maupun kerentanan di lokasi perhutanan sosial.

Autopsi Jasad Wanita di Tanjung Priok, Polisi Pastikan Meninggal Secara Alami

Kelola kelembagaan terkait penguatan kelompok, peningkatan kapasitas, perencanaan, implementasi, monitoring evaluasi, kesepakatan terkait dan sebagainya. Sedangkan kelola usaha terkait upaya mengembangkan usaha kelompok sesuai potensi yang ada. Tiga kelola ini saling mendukung secara sinergis, serta kerap beririsan. Ketiganya berpijak pada keseimbangan ekonomi, ekologi dan sosial-budaya, serta berpegang pada keunikan dan potensi di setiap lokasi.

Berikut ini diberikan contoh pengelolaan perhutanan sosial oleh perempuan. Tentu tidak bisa mewakili semua atau sama di semua lokasi. Tapi contoh ini bisa menjadi bukti kuat tentang pentingnya kiprah perempuan.

Peringatan HUT Dharma Wanita Persatuan ke-24 di Solok Selatan Berlangsung Meriah

Pertama, dari Lembaga Pengelola Hutan Kampung (LPHK) Damaran Baru, Bener Meriah, Aceh. LPHK mengelola Hutan Desa. Upaya ini bermula dari kekhawatiran Sumini dan suami, bahwa pembalakan hutan di Gunung Bumi Telong akan berdampak buruk pada desa-desa di bawahnya. Ini terbukti. Tahun 2015, banjir bandang menerjang perkebunan dan permukiman. Meski tidak menelan korban, penduduk mengalami kerugian dan merasakan trauma.

Tidak ingin terulang, Sumini dan beberapa perempuan berembuk, lalu membentuk kelompok. Semua pengurus perempuan, dengan jumlah anggota sebanyak 30 orang, dimana 9 di antaranya laki-laki. Sumini menjadi ketua kelompok. LPHK Damaran Baru pada 2019 mengantongi izin (sekarang disebut persetujuan) hutan desa dari KLHK seluas 251 hektar selama 35 tahun.

Istri Bupati Trenggalek Diusir Oknum DPRD saat Isi Materi di Magetan

Akses legal ini mengantar masyarakat mengembangkan kelembagaan, termasuk kelompok ranger dengan tugas utama menjaga kawasan hutan. Mereka rutin berpatroli untuk mencegah tindakan-tindakan destruktif seperti melukai batang kayu, menebang dan memicu api di hutan. Anggota ranger berjumlah 24 orang, yaitu 10 perempuan dan 14 laki-laki.

Perempuan ranger ini dalam bahasa Gayo disebut “Mpu Uteun,” yang menunjukkan ketangguhan yang sama dengan laki-laki. Secara bergantian mereka berpatroli selama 10 hari per bulan. Mereka sanggup berjalan kaki puluhan kilometer, dan kadang bermalam di hutan. Selama berpatroli, ranger juga mencatat keanekaragaman flora dan fauna serta menanam bibit.

Halaman Selanjutnya
img_title