Hantu Itu Bernama Hidrometeorologi Basah
- Padang Viva/Andri Mardiansyah
Padang – "Longsor menimbun sawah hingga tak dapat digarap lagi. Air sungai yang dulu jernih dan langsung bisa kami minum, kini bercampur pasir. Bencana alam betul-betul merusak," kata Rano, mengenang petaka tanah longsor dan banjir bandang yang memporak-porandakan lahan pertanian tempat tinggalnya empat tahun silam.
Rano merupakan warga Maua Hilia, Jorong Kayu Pasak Timur, Nagari Salareh Aia, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Tahun 2018 lalu, kampungnya diterjang tanah longsor disertai banjir. Tak sedikit sawah masyarakat tertimbun hingga tak bisa dimanfaatkan lagi. Rano saja sampai menelan kerugian hingga Rp 20 juta.
Bukan alam yang tak bersahabat. Hal itu tergambar dari cerita panjang Rano tentang aksi pembalakan liar di wilayahnya yang masif terjadi. Kayu-kayu di hutan lindung dibabati tangan-tangan tak bertanggung jawab. Sungguh miris kata Rano. Mereka tertawa berkipas duit. Berbanding terbalik, orang-orang kampung menghitung duka dan saban waktu dihantui bencana.
"Bencana datang, satwa dilindungi terganggu. Salah satu pemicu banjir dan tanah longsor ini adalah pembalakan liar,"sebutnya lantang.
Kawasan Maua Hilia yang dulunya subur dan luas, kini mulai berkurang kata Rano. Bahkan, ada kampung yang terkikis air sungai. Ulah pembalakan liar di pinggir sungai, kampung Pili namanya. Ada pula rumah warga yang hampir terban lantaran tanahnya terkikis aliran sungai.
Rano sendiri juga memiliki kebun di sekitar kawasan yang berbatas dengan hutan lindung. Kebun berisi pinang dan durian itu juga sempat rusak karena dampak penambangan kayu. Aktivitas pembalakan liar di hutan memang sudah lama terjadi, namun efeknya masih dirasakan masyarakat sekitar hingga hari ini.
"Kampung itu di sempadan (hutan lindung). Kebun rusak akibat kayu-kayu yang tumbang. Saya sudah berladang sejak 2009 di tanah mertua," katanya.
Dia mengaku juga sering menyaksikan penebangan liar. Suara mesin pemotong kayu riuh terdengar di dalam rimba. Kondisi itu disaksikan Rano di kawasan hutan Pasaman Timur yang berbatas dengan Kabupaten Agam.
"Kalau yang menebang hutan masyarakat setempat, itu masih ditoleransi. Ini tidak. Kayunya dibawa keluar dan dijual," katanya.
Ketika alam murka, isi bumi diacak-acak hingga tak lagi teratur. Air Batang Lanja di kawasan Kecamatan Palembayan, misalnya. Dulu, air sungai tersebut bisa dikonsumsi langsung oleh siapa saja yang kehausan di tengah rimba dan tidak perlu dimasak. Kini, airnya masih terlihat jernih namun harus disaring dulu sebelum diminum. Semua gara-gara longsor dan banjir tahun 2018 silam.
"Airnya kini bercampur pasir," ujarnya.
Penebangan hutan tidak hanya memicu bencana alam. Binatang-binatang buas pun keluar sarang karena habitatnya terusik dijamah tangan manusia. Apalagi, pembalakan liar itu terjadi di kawasan hutan Cagar Alam Maninjau, Kabupaten Agam. Areal hutan itu jelas zona atau habitat inti dari beberapa jenis tumbuhan dan satwa liar dilindungi.
Tak sedikit laporan Harimau Sumatera mengamuk memangsa ternak masyarakat di Kabupaten Agam, termasuk milik Rano. Empat ekor sapinya diserang satwa dilindungi itu. Dia harus menelan ludah ikhlas karena tidak ada bantuan apapun dari pemerintah atas musibah 'alam' yang ditanggungnya. Hanya peringatan hati-hati yang diperolehnya dari pemerintah daerah.
"Dua ekor sapi saya mati dan dua ekor selamat. Itu kerugian nyata bagi saya," katanya.
Ragam peristiwa dan bencana yang dialaminya, membuat Rano terpanggil untuk terlibat menjaga alam. Menurutnya, merawat alam adalah cara terbaik menolak bala dari alam itu sendiri. Atas dasar itu pula, Rano bergabung menjadi salah satu anggota Tim Patroli Anak Nagari (Pagari) yang dilahirkan BKSDA Sumbar.
Bersama Pagari, Rano dan rekan-rekannya memantau aktivitas di dalam hutan kawasan tempat tinggalnya. Selama berpatroli, dia belum pernah bertemu langsung dengan pelaku pembalakan liar.
"Tetapi, saya melihat bekas penebangan. Ada sekitar tiga titiknya dan terpisah-pisah," katanya.
Pengalaman pahit pun membawa Rano menjadi anggota Pagari. Sawahnya hilang dan sapi matinya. Semua bencana itu terjadi akibat dari ulah tangan-tangan manusia yang tak bertanggung jawab. Hutan krisis kayu-kayu besar yang menjadi penyangga air. Ketika hujan deras, pemukiman warga terancam dan habitat hewan buas terusik.
"Ketika alam dijaga dengan baik, maka ia akan bersahabat dengan kita. Hewan buas keluar dari rimba karena habitatnya terganggu. Begitu juga bencana banjir, tanah longsor. Semoga Pagari dan semua pihak terkait bisa bersama-sama menjaga hutan," harapnya.
Rano mengaku miris melihat kondisi hutan di sekitar tempat tinggalnya. Dulu, BKSDA Sumbar pernah membantu sebanyak 500 batang bibit pohon. Bantuan tersebut dibagikannya kepada masyarakat. Satu orang mendapat jatah menanam 5 batang bibit di lereng bukit. Kekinian, tamanan tersebut sudah berkembang setinggi tegak orang dewasa.
Begitu juga cerita Sutan Mangkuto, korban gempa 2009 yang tinggal di rumah bantuan pemerintah sejak tahun 2016 lalu di daerah Kabupaten Agam. Sebelum gempa, ia juga ya kerap menjadi korban tanah longsor di Maninjau. Menurutnya, bencana longsor berulang di Jorong Pandan, Belapung, Penanggai dan Nagari Tajung Sani di Kecamatan Tanjung Raya, juga akibat dari penebangan liar.
Sutan Mangkuto blak-blakan menyebut bahwa pengawasan pemerintah tidak ketat. Buktinya, masih ada orang-orang tak bertanggung jawab menebang kayu sampai hari ini di kawasan hutan lindung. Dulu, Kapolda Sumbar keliling Danau Maninjau hingga mendengar suara mesin potong kayu. Lalu, diperintahkannya para kapolsek untuk menertibkan para pelaku penjarah kayu tersebut.
"Sekarang masif lagi, tiap hari terdengar bunyi mesin potong kayu. Hasilnya dijual ke tukang perabot dan sebagainya," katanya.