Wanita Ternyata Lebih Cepat Move On Pasca Bercerai

Ilustrasi Perceraian
Sumber :
  • Pixabay

Padang – Angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Indonesia 2022, sebanyak 447.743 kasus perceraian terjadi pada tahun 2021. 

Hilirisasi dan Pembangunan IKN Dorong Pertumbuhan Investasi Tertinggi di RI Kuartal IV-2023

Angka tersebut, mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 291.677 perkara. Data BPS tersebut hanya mencakup perceraian untuk orang Islam saja.

Berbicara mengenai perceraian dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Avvo dilaporkan bahwa wanita cenderung lebih cepat move on dibanding pria setelah mereka bercerai.

Pengangguran di Solsel Turun 1,16 Persen, Terendah Kedua di Sumbar

Dalam laporan yang dilakukan oleh Avvo melaporkan bahwa hanya 61 persen merasa mereka memutuskan hubungan dari hubungan yang gagal tanpa penyesalan, sementara 73 persen wanita mengatakan bahwa mereka tidak merasa menyesal setelah bercerai.

Studi tersebut juga menyimpulkan bahwa lebih banyak wanita yang menghargai kebahagiaan, kesuksesan, dan bahkan kesepian daripada sengsara dalam pernikahan dibandingkan 58 persen pria yang merasakan hal yang sama.

Petani Milenial di Padang Terus Bertambah

"Wanita, di sisi lain, lebih menghargai kebahagiaan daripada pernikahan, dan umumnya kurang takut akan kemandirian. Apa pun alasan yang mendasarinya, kedua pasangan memiliki peran dalam hubungan yang tidak berhasil, termasuk wanita bahkan jika itu berarti sebagai pasangan, membuat lebih banyak kesalahan yang ingin Anda akui, atau bahkan memilih pasangan yang salah," kata sosiolog dan seksolog Dr. Pepper Schwartz dikutip dari laman viva, Rabu 18 Januari 2023.

Schwartz juga menegaskan kembali bahwa peran gender stereotip pasti memiliki beberapa kesimpulan mengapa pria dan wanita merasakan apa yang mereka lakukan tentang keputusan untuk bercerai dan sikap terhadap kehidupan setelahnya.

"Seperti kata pepatah, dibutuhkan dua orang untuk tango dan dua orang untuk merusak hubungan, tetapi wanita lebih kecil kemungkinannya untuk disalahkan,”ujar Pepper Schwartz. 

“Peran gender dan stereotip tradisional tentang kemitraan domestik benar-benar berperan di sini. Mungkin wanita percaya bahwa menyalahkan diri sendiri tidak memberdayakan, dan pria mungkin merasa seolah-olah tidak maskulin menyalahkan istri mereka,"lanjut dia.