Transformasi Kota Arang Dari Masa Lalu Yang Kelam

Taman Kehati Emil Salim. Foto/Andri Mardiansyah/Padang Viva
Sumber :

Padang –Padang – Sawahlunto, sebuah kota kecil yang berada di timur laut kota Padang, Sumatera Barat ini, sudah berubah. Denyut nadinya, tak lagi seperti dulu. Dikala ratusan tahun lampau, riuh oleh geliat industri tambang batu bara.  

Kemenag Sumbar Peringatkan Masyarakat Tentang Penipuan Visa Haji

Kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh aktifitas tambang batu bara, menjadi catatan sejarah buruh kota berjuluk kota arang ini. Namun, kini sudah berubah. Sawahlunto menjelma dengan wajah baru. Jadi kota wisata tambang yang berbudaya. 

Sejarah mencatat, aktifitas penambangan batu bara di kota Sawahlunto ini, dimulai pada tahun 1892. Pada masa kekuasaan kolonial Belanda. Tambang Ombilin, begitulah orang menyebutnya saat itu.

Jalan Tol Padang-Pekanbaru Seksi Padang-Sicincin Ditargetkan Tuntas Juli 2024

Nama Ombilin ini, mengacu pada temuan 200 juta ton batu bara oleh geolog Belanda di sepanjang aliran sungai Ombilin yang mengalir di Sawahlunto. Temuan itulah yang mengubah wajah Sawahlunto yang semula merupakan kawasan pedesaan, menjadi kota tambang yang riuh dengan geliat ekonomi dari “emas hitam”.

Para pekerja paksa pun didatangkan dari seluruh nusantara untuk menggali lorong-lorong gelap lebih dalam lagi demi mendapatkan batu bara. Pekerja paksa ini, lalu dikenal dengan sebutan orang rantai.

Pariwisata Sumbar Berkembang Pesat, Desa Wisata Jadi Motor Penggerak

Untuk memudahkan distribusi batu bara, Pemerintah Kolonial Belanda saat itu, membuat jalur kereta api. Bukit pun, dibelah. Batu bara dari Sawahlunto lalu bisa diangkut hingga ke pelabuhan Teluk Bayur di Kota Padang untuk selanjutnya, dibawa ke Eropa dengan kapal-kapal besar. 

Setelah Indonesia merdeka, kepemilikan Ombilin pun dikuasai negara. Adalah, PT Bukit Asam yang ditunjuk sebagai otoritas tertinggi. Perusahaan plat merah  ini, bertanggung jawab mengelola tambang Ombilin hingga akhirnya berhenti beroperasi lantaran, cadangan batubara di Sawahlunto kian menipis.

Sawahlunto pun tampak sepi dan kehidupannya nyaris mati. Namun, perlahan kota ini mulai mulai bangkit lagi. Pemerintah kota Sawahlunto, terus berupaya menghidupkan kembali roda perekonomian.

Kota yang berada di ketinggian bentang alam Bukit Barisan itu, kini bertopang pada cerita masa lalu untuk wisatawan. Terowongan bekas galian tambang, bangunan besar bergaya kolonial Belanda serta, pemukiman bekas pekerja tambang menyatu dengan landscape alam Sawahlunto yang indah. 

Sawahlunto pun, berubah menjadi situs kota tua yang menawan. Meski di beberapa tempat masih menyisakan persoalan untuk pemulihan kerusakan alam, namun perlahan tapi pasti. Semua diperbaiki.

Keanekaragaman hayati yang dulu ikut rusak akibat aktifitas tambang batu bara, kini mulai dikembalikan lagi melalui program pencanangan taman kehati. Program ini, inisiasi Pemerintah Kota Sawahlunto bersama Yayasan KEHATI.

Gagasan membuat taman kehati Sawahlunto yang kemudian diberi nama taman kehati Emil Salim ini, muncul untuk mengembalikan atau mengkonservasi ekosistem flora dan fauna endemik di bekas zona pertambangan.

Konsep taman Kehati, menjadi pilihan karena kota Sawahlunto ingin memiliki wilayah pencadangan sumber daya alam seperti yang tertuang pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 3 Tahun 2012.

Kedepan, taman kehati Emil Salim ini akan ditanami berbagai tumbuhan lokal, endemik dan langka. Meski baru tahap pertama, namun taman kehati Emil Salim ini, bakal menjadi tonggak perubahan paradigma pembangunan kota Sawahlunto.

Hingga pada akhirnya, dari kota tambang yang legam, perekonomian Sawahlunto kini berpegang pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Salah satunya, dengan mengembangkan ekowisata.

Kehadiran taman Kehati diatas lahan eks tambang batu bara seluas 24,28 hektar itu, diharapkan mampu melengkapi kawasan wisata Kandis yang diproyeksikan sebagai pusat kegiatan pariwisata dan edukasi. (Lusiana Indriasari)