Syekh Sihalahan, Penyebar Agama Islam Di Tanah Solok

Makam Syekh Sihalahan. Foto/Doc BPCB Sumbar
Sumber :

Setelah mendapatkan ilmu yang dimaksud, Syekh Sihalahan melanjutkan pelajaran ilmu tarekat di daerah koto baru palangki kabupaten Sijunjung. "Nama Syekh Sihalahan ini hanyalah gelar yang beliau dapatkan dari perjuangan semasa mensyiarkan agama Islam di Ranah Minang. Sedangkan aslinya beliau bernama Husin bin Mahmud,"kata Nasril.

Dua Hari Kedepan Wilayah Sumbar Berpotensi Hujan Dengan Skala Ringan Hingga Lebat

Usai Syekh Sihalahan mendapatkan ilmu dari berbagai tempat yang ia kunjungi, Syekh Sihalahan tek berhenti sampai disana, Ia kemudian kembali belajar dengan seorang guru agama di solok yakni, Syekh Aminullah yang merupakan cucu dari angku Syekh Supayang. 

Berdasarkan keterangan dari berbagai narasumber dan inskripsi pada cungkup makamnya, Syekh Sihalahan sendiri diketahui wafat pada bulan Juli 1917. Makam dan Surau Latih Syekh Sihalahan yang saat ini sudah masuk dalam cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat ini terletak di Jalan Raya By pass, Simpang Balai Koto Anau.

Ma'aruf Amin Sebut Perguruan Tinggi Harus Berorientasi pada Masa Depan

Menurut catatan BPCB Sumatera Barat, Makam Syekh Sihalahan ini terbuat dari susunan bata berplester. Nisannya menyatu dengan jirat, dengan bentuk nisan berbentuk undakan, pada bagian kepala nisan terdapat empat buah undakan dan pada bagian kaki nisan terdapat tiga buah undakan. Bagian kaki makam lebih rendah dari bagian kepala makam sehingga jika dilihat dari samping maka makam ini terlihat miring. 

Saat ini makam Syekh Sihalahan telah diberi cungkup dan dibuatkan bangunan yang disusun dengan bata berplester, bangunan ini tidak penuh hingga ke atas. Atap cungkup terbuat dari seng. Makam Syekh Sihalahan berada di dalam lingkungan Surau Latiah.

Kemenag Kirim 20 Dai-Daiyah ke UEA untuk Kenalkan Moderasi Beragama

Sementara untuk Surau latiah yang didirikan oleh Syekh Sihalahan sekitar tahun 1880-an. memiliki ciri khas yakni bentuk atap seperti Rumah Tradisional Minangkabau (beratap gonjong). Secara umum, kondisi bangunan ini masih dipertahankan keasliannya. Namun pada beberapa bagian komponen bangunan sudah mengalami perubahan. 

Dahulunya surau ini beratap ijuk dengan dinding yang terbuat dari “sasak” (anyaman bambu). Setelah beliau wafat (setelah tahun 1917) dinding ini kemudian diplester dengan semen. Adapun pada bagian lantai dan loteng di diganti pada tahun 1997 oleh BP3 Batusangkar. Pada bagian tiang dalam masjid (asli) sudah dilapisi oleh ahli waris dengan papan guna perkuatan dan pencegahan terhadap rayap.

Halaman Selanjutnya
img_title