Catatan Perjalanan: Wakil Sumbar di Sinematografi Teater “Tendi Karo Volkano”
- Istimewa
Empat Eksebisi
Siosar alangkah dingin. Pukul 7 malam, pintu warga sudah ditutup, kata Benson Kaban, Aktivis Sosial yang selalu menemani rombongan. Daerah itu berada di ketinggian 1800 mdpl. Kedatangan rombongan Tendi seperti toa yang menguarkan mantra agar pintu-pintu warga kembali terbuka.
Siosar merupakan daerah pengungsian dari memancurnya lahar dari Gunung Sinabung. Mantan hutan lindung itu diteroka agar terbuka membangun perkampungan. Berladang adalah pekerjaan tetap. Ada juga yang masih bolak-balik ke Sinabung karena belum terbiasa pada basa tanah Sibuaten.
Rudi Pranoto memberi nuansa bentuk rumah adat Tanah Karo dengan balutan tali yang membentuk segitiga yang begitu kentara. Bersama Sukisno, stage manajer, keduanya berusaha mencari artistik yang pas di tiap lokasi. Tentu, dengan mengoleksi property yang tersedia.
Babak I dijajal untuk kedua kalinya. Apabila eksebisi pertama di Desa Tongging hanya menjadi ajang uji coba untuk peralatan siaran alir langsung, kali ini perkembangan pertunjukan sudah mulai menyerupai bentukan naskah.
Pertunjukan ini memang menyiapkan tiga lapisan; selain siaran alir langsung, juga performa panggung dan visual. Semuanya memliki tingkat ‘kelicinan’ tersendiri.
“Menjahitnya menjadi seni tersendiri,” Komentar Syamsul Fajri. Pimpinan SFN Labs melihat bagaimana kelindan naskah meramu tiga lapisan adalah pekerjaan sebenarnya.
Sri Sultan, Lestari memapah gerakan Karo dalam tubuh. Bukan hanya agar semirip mungkin tetapi meraih ruh tarian dalam kesempurnaan. Rasyidin yang berperan sebagai Sira terus menginvestigasi berbagai bentuk suara. Bukan hanya sebagai padanan, sekaligus melokalisir karakter Sira yang begitu kompleks dan panjang sejarahnya terinjeksi dalam DNA Karo; pedagang, negoisator, pesilat, sekaligus penguasa aliran sungai.
“Workshop, pertemuan dengan warga, berbincang dengan tetua, benar-benar membantu saya dalam menumbuhkan peran ini,” ujar dosen ISBI Aceh ini.