Konflik Perebutan Lahan Rempang di Batam, Pemerintah Kejar Nilai Investasi Segini

Bentrokan warga dengan aparat kepolisian di Rempang
Sumber :
  • Via VIVA

Padang – Konflik perebutan lahan yang terjadi kepada warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau, masih terus berlanjut hingga saat ini. Bentrokan yang pecah pada 7 September 2023 lalu menegaskan, pemerintah melalui aparat gabungan dari TNI, Polri, dan Ditpam (BP) Batam, tetap bersikeras memindahkan warga Rempang yang tanahnya akan digunakan untuk proyek pembangunan kawasan industri, jasa, dan pariwisata bernama Rempang Eco City tersebut.

Kasat Reskrim Terkena Panah dan Pelajar 15 Tahun Tewas dalam Bentrokan Maluku Tenggara

Namun, sebenarnya sejak kapan warga Rempang menghadapi permasalahan lahan dari proyek-proyek pembangunan yang menyasar tanah di sekitar kawasan tersebut?

Baca juga: Kontroversi Proyek Rempang Eco City: Dukungan Massa dan Tokoh Masyarakat

Belanda Menuduh China dalam Kasus Spionase Dunia Maya: Ketegangan Semakin Meningkat

Pada sekitar medio 2001, Pemerintah Pusat melalui BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada perusahaan swasta, yang pada akhirnya berpindah tangan ke PT Makmur Elok Graha. Hal itu membuat masyarakat nelayan yang sudah puluhan tahun hidup dan menempati Pulau Rempang, kesulitan dalam mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan. 

Hingga pada akhirnya, konflik mulai muncul kala Pemerintah Pusat, BP Batam, dan perusahaan pemegang HPL yakni PT Makmur Elok Graha, mulai menggarap proyek strategis nasional (PSN) bernama Rempang Eco City. Proyek itu digadang-gadang akan mampu menarik investasi besar ke kawasan tersebut.

Jokowi Sebut Apartemen The Pakubuwono Nusantara Selaras dengan Konsep IKN

Berlandaskan pada Peraturan Menteri Koordinator (Permenko) Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023, kawasan Rempang Eco City itu diharapkan dapat menarik investasi hingga sebesar Rp 381 triliun pada tahun 2080 mendatang. 

Tak hanya itu, di kawasan Rempang tersebut rencananya juga akan didirikan pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik Xinyi Group asal China, dengan perkiraan investasi mencapai US$ 11,6 miliar atau sekitar Rp 174 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per US$). 

Halaman Selanjutnya
img_title