Malin Bukan Anak Durhaka: Antara Lirih dan Dilema dalam Monolog Malin Kundang
- Iis Wulandari
Fajar Eka Putra yang menjadi aktor utama dalam pertunjukkan ini, mampu mementaskan dengan apik, ia mewakili suara Malin yang selama ini terpenjara oleh narasi yang melebeli dirinya sebagai anak paling durhaka di dunia.
Tata gedung cukup menarik. Latar tepi laut yang simbolis, kapal-kapal terbelah menjadi tiga bagian, ditutupi lumut, dimaknai sebagai saksi bisu tragedi yang pernah terjadi di masa lampau.
Namun, detail artistik seperti pasir berwarna kuning dan kapal yang tampak kurang realistis, mengurangi efek imajinasi yang seharusnya dapat membawa penonton lebih jauh ke dalam dunia Malin.
Warna pasir itu, mengurangi esensi surealisme dari latar peristiwa yang akan di imajinasikan oleh penonton.
Diiringi alunan musik sendu dan suara semilir angin laut, panggung mulai hidup. Pemusik dan pendendang yang menjadi bagian dari pertunjukkan ini, duduk ditengah serpihan kapal.
Mencoba menciptakan harmoni yang melarutkan suasa, meski kemudian posisi keduanya terkadang mengalihkan fokus penonton dari aktor utama. Ada empat aktor utama dalam pertunjukkan ini.
Ketika musik mengalun, tiga aktor yang berperan sebagai simbol batu Malin Kundang mulai bangkit dari pasir itu, menjadi simbolis dari batu Malin Kundang yang bangkit dari kutukan
Dengan gerakan stakato yang terinspirasi dari silek Minangkabau, ketiga aktor itu mampu membawa dimensi baru pada pertunjukan.