Malin Bukan Anak Durhaka: Antara Lirih dan Dilema dalam Monolog Malin Kundang

Pementasan Malin Kundang Lirih
Sumber :
  • Iis Wulandari

Tiga aktor yang berperan sebagai simbol batu-batu Malin Kundang itu, lebih banyak bermain dengan body movement, di mana mereka bergerak hanya saat terdengar suara musik batu, lalu kembali membeku (freeze). 

Pemko Padang Sediakan Rumah Gratis dan Pemberdayaan untuk Warga Terlantar di "Desaku Menanti"

Dalam pelajaran keaktoran, kondisi itu disebut dengan istilah eksplorasi body movement. Dalam gerakan mereka, terdapat inspirasi dari seni bela diri silek (silat Minangkabau). 

Sebagai batu, gerakan-gerakan yang dimainkan ketiga aktor itu, seolah-olah menggambarkan batu yang pecah, sehingga gerakannya bersifat stakato.

Wali Kota Padang Ingatkan ASN Jadi Pendengar Ulung Hingga Gali Inovasi

Selain itu, gerakan juga diambil dari silek yang diekplorasi kembali. Ini yang kemudian lebih menarik fokus perhatian dari narasi cerita yang di sampaikan oleh aktor utama. 

Konsep pertunjukan Malin Kundang Lirih ini, sebenarnya inovasi baru dalam pertunjukan monolog, menambahkan karakter yang unik. Namun, penonton lebih tertarik pada gerakan ketiga batu ini dibandikan cerita utama. 

Pekan Kelabu Tuan Rumah Liga 1: Empat Tim Tumbang, Dua Imbang

Mereka sering kali menuggu gerakan apa yang akan dilakukan berikutnya, sehingga fokus terhadap narasi Malin Kundang sebagai tokoh utama menjadi terganggu atau terabaikan. 

Jika kita melihat dari konsep penyutradaraan dalam pertunjukan ini, khususnya dari segi blocking aktor utama, Malin Kundang, terbaring di ujung kapal yang terbelah. 

Malin bergerak ke arah depan, batu pertama, kembali lagi ke belakang, kemudian baru ke arah samping kiri serpihan kapal yang jarang dijamah oleh Malin. Blocking ini kurang mengeksplor seluruh area panggung, terutama bagian lambung kapal kiri dan tengah. Eksplorasi properti juga terbatas. 

Halaman Selanjutnya
img_title