Malin Bukan Anak Durhaka: Antara Lirih dan Dilema dalam Monolog Malin Kundang
- Iis Wulandari
Malin hanya sering berinteraksi dengan serpihan ujung kapal tempat kebangkitannya, sementara serpihan lainnya lebih banyak dieksplor oleh aktor yang berperan sebagai batu.
Meski dibantu dengan pencahayaan dramatis yang memberikan kesan surealis yang mendalam, namun belum mampu memperkuat suasana lirih yang menyelimuti karakter Malin Kundang dan menambah dimensi emosional pada pertunjukan.
Pementasan Malin Kundang Lirih
- Iis Wulandari
Terlepas dari itu semua, Malin Kundang Lirih adalah pertunjukan teater yang menarik. Naskah yang ditulis dengan penuh pertimbangan, menawarkan interpretasi baru dari mitos Malin Kundang, dengan menggali aspek antropologis dan psikologis yang jarang dieksplorasi dalam pertunjukan sejenis. Pertunjukan ini pun berhasil, menyampaikan hal tersebut.
Narasi tentang Malin sebagai seorang pemuda Minangkabau yang mencoba mengubah nasibnya dengan merantau, namun harus berhadapan dengan kenyataan bahwa setiap tindakan yang ia lakukan memiliki dampak terhadap keluarganya, terutama ibunya cukup tersampaikan dengan baik.
Terlepas dari masih adanya kekurangan, pesan Malin Kundang Lirih tentang Malin bukanlah sosok yang jahat atau durhaka, melainkan seorang individu yang menghadapi dilema besar dalam hidupnya yang dilahirkan sebagai seorang laki-laki di tanah Minang juga tersampaikan dengan baik.
Di akhir pertunjukan, tepuk tangan riuh menggema. Penonton terlarut dalam kisah Malin yang lirih namun sarat makna.
Cerita ini relate dengan persoalan anak laki-laki di tanah Minang yang harus berkembang di rantau orang. Kalau tidak sukses di rantau, mereka tidak akan berani pulang,” begitu respon penonton.