Malin Bukan Anak Durhaka: Antara Lirih dan Dilema dalam Monolog Malin Kundang
- Iis Wulandari
Meski menambah unsur artistik, simbol tiga batu ini memunculkan pertanyaan mengapa tiga? Bukankah legenda hanya berbicara tentang satu Malin Kundang?
Pementasan Malin Kundang Lirih
- Iis Wulandari
Lalu dimana sang aktor utama, Fajar Eka Putra yang memerankan sosok Malin Kundang?. Dengan perlahan, dia yang mulanya terbaring di kepingan ujung kapal, muncul dengan vokal yang tegas, kuat dan intonasi suara yang sangat menggambarkan kekesalan sosok Malin.
Fajar berhasil menghadirkan sosok Malin yang merasa kesal lantarahn dicap sebagai anak durhaka. Ekspresi dan emosi serta dialog yang disampaikan, menjadi manifesto seorang Malin sebagai seorang laki-laki yang lahir di Minangkabau dan merantau untuk mencapai kesuksesan.
Kepulangan Malin ke kampung halaman pun menjadi tragedi dimana, ia bertemu dengan ibu kandungnya yang berujung pada kutukan dan lantaran dianggap sebagai anak durhaka.
Penampilan Fajar Eka yang memukau, berhasil menghidupkan kompleksitas dan kedalaman karakter Malin Kundang di atas panggung pementasan.
Namun, blocking panggung yang terbatas membuat eksplorasi ruang terasa sempit. Interaksi Malin dengan properti kapal hanya berpusat di satu titik, meninggalkan ruang-ruang lain yang seharusnya dapat memperkuat pesan simbolis.
Meskipun konsep monolog ini inovatif, kehadiran simbol batu dan pemusik sering kali lebih menarik perhatian penonton dibanding narasi utama. Ketika penonton lebih terfokus pada gerakan stakato batu-batu atau suara musik, kelirihan Malin sebagai tokoh utama seakan tersisih.